THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

About Me

Foto saya
aq pngn punya blog yg menjelaskan pada semua orang , bahwa d dunia sudah menganut aliran zionisme . ..

shep

shep
private

Rabu, 25 Maret 2009

zonisme


Akar Zionisme

Djoko Susilo, Anggota Komisi I DPR RI
Tidak ada perbincangan serius mengenai masalah Timur Tengah tanpa mengaitkannya dengan ideologi Zionisme. David Vital, profesor pada University of Tel Aviv dalam bukunya The Origins of Zionism (1975) menulis bahwa Zionisme modern (sering disebut juga Zionsime politik) pada mulanya merupakan impian seorang wartawan Theodore Herzl setelah menyaksikan pengadilan pengkhianatan Kapten Dreyfuss di mahkamah militer Paris. Zionisme modern lahir setelah Kongres Basle pada 29-31 Agustus 1897, seratus tahun yang lalu.

Sebelum lahirnya gerakan Zionisme modern, ide tentang Zion sudah cukup kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat Yahudi, khususnya kalangan Ashkhenazi (Yahudi Eropa). Di antara gerakan Zionis pra-Kongres Basle yang secara umum disebut sebagai proto-Zionisme, yang terpenting ialah Hovevei-Zion, Hibbat-Zion, dan Poalei-Zion.

Semua gerakan Zionisme tersebut sering juga dikenal sebagai gerakan ''utopia'', dan baru setelah Kongres I di Basle, gerakan Zionisme menemukan jati dirinya sebagai gerakan politik yang mempunyai program jelas.

Semula Theodore Herzl ingin menggelar Kongres di Muenchen, Jerman. Namun dia mendapat tantangan keras dari kalangan pemuka agama Yahudi setempat dan kelompok pro asimilasionis yang khawatir Kongres Zionis dan kegiatan yang terkait dengannya hanya akan meningkatkan rasa kebencian masyarakat Jerman terhadap mereka. Oleh karenanya, Herzl terpaksa memindahkan tempat kongres di kota kecil Basle yang terletak di wilayah Swiss tapi masih berbatasan dengan Jerman. Kongres dibuka pada Ahad pagi tanggal 29 Agustus 1897 dengan mengambil tempat di gedung Kasino milik pemerintah kotapraja Basle.

Sungguh aneh sekalipun agama Yahudi mengharamkan perjudian, pelaksanaan kongres yang memperjuangkan kembalinya mereka ke tanah leluhur itu dilakukan di tempat judi. Ini bisa dimaklumi karena sebenarnya Theodore Herzl penggagas dan aktor utama kebangkitan Zionisme adalah seorang sekuler. Persiapan kongres dilakukan dengan matang dan rapi. Beberapa bulan sebelumnya Herzl sibuk melobi ke berbagai tokoh Yahudi di London, Paris, Polandia, Rusia, dan lain-lain tempat agar bisa mengirimkan wakilnya atau datang sendiri. Meski demikian, hanya sekelompok kecil yang berani ke Basle. Israel Zangwill, adalah sedikit dari intelektual terkemuka yang memberanikan diri hadir di kongres.

Kongres tersebut dihadiri antara 200 sampai 250 wanita dan pria yang datang dari 24 negara. Jumlah yang tampak tidak pasti ini karena beberapa delegasi khususnya yang datang dari Rusia meminta agar namanya tidak dicantumkan secara resmi. Dengan kata lain mereka datang secara ilegal. Beberapa delegasi tidak mau repot dengan mendaftar secara resmi karena mereka mungkin tidak menyadari sedang menghadiri kongres yang sangat bersejarah. Sebab, lima puluh tahun kemudian cita-cita mendirikan negara Israel berhasil diwujudkan dengan mengusir dan merampas tanah dari bangsa Palestina.

Pintarnya Herzl mengorganisasi Kongres I Zionis di Basle ini terlihat dari rapinya administrasi maupun agenda acara yang dibicarakan. Semua peserta yang hadir sebelum memasuki arena kongres sudah mendapatkan materi yang tercetak rapi. Masing-masing delegasi mendapatkan badge yang dirancang oleh Bodenheimer. Badge ini merupakan lingkaran biru dengan garis tepi merah dengan lambang singa dan bintang david sebanyak 12 buah. Di tengah-tengahnya terdapat kata-kata: ''Berdirinya negara Yahudi merupakan satu-satunya jawaban yang masuk akal bagi penyelesaian masalah Yahudi''.

Sebagai wartawan profesional yang bekerja untuk koran Neue Freie Presse, Herzl mengerti benar pentingnya media massa dalam menyebarkan ide-idenya. Jauh sebelum orang menyadari pentingnya PR (public relations), Herzl sudah mengetahui pentingnya memanfaatkan media untuk kepentingannya. Koran Die Welt yang saat itu tirasnya cukup besar mendapat layanan khusus. Sebagai imbalannya, koran ini pun memuat edisi khusus Kongres I Zionis tersebut. Publikasi mengenai kongres juga terdapat pada koran-koran Eropa lainnya, seperti The Times of London, The Daily News, The Daily Mail, The Spectator, dan Pall Mall Gazette di Inggris. Koran Jerman yang memberitakan secara besar-besaran ialah Frankfurter Zeitung, Kolnische Zeitung. Koran-koran besar di sejumlah negara lain juga memuat berita kongres itu, misalnya di Hongaria, Rusia, Polandia, Swiss, Amerika Serikat, dan Prancis. Dengan demikian dari segi propaganda dan perebutan opini publik, Herzl sukses besar.

Kongres yang berlangsung selama tiga hari itu bisa berlangsung mulus karena sejumlah masalah pokok sudah diselesaikan dalam pertemuan pra-kongres yang berlangsung selama dua hari. Dalam pertemuan khusus ini berhasil ditunjuk 7 orang komite pelaksana yang diketuai Max Nordau. Mereka bertanggung jawab atas lancarnya sidang-sidang yang dilaksanakan. Meski demikian Herzl semula sempat ragu bahwa dia akan mampu menggelar kongres dengan baik.

Untuk memberi kesan bahwa kongres bukan dihadiri oleh orang-orang ''gembel'' saja, Herzl meminta semua delegasi yang akan memasuki ruang sidang memakai baju resmi, yakni jas panjang dan dasi putih. Ketika Nordau sebagai ketua pengarah sidang muncul di arena kongres hanya dengan mengenakan jaket biasa, Herzl memaksanya balik ke hotel dan mengganti dengan stelan resmi itu. Nordau berhasil dirayu Herzl agar ganti pakaian dan dia kemudian dipeluk pendiri Zionis itu dengan hangat. Seperti yang diharapkan Herzl, kongres berjalan lancar dan khususnya acara pembukaan berlangsung khidmat.

Konon, para peserta banyak yang mencucurkan air mata. Mereka terharu, untuk pertama kalinya warga Yahudi yang terserak-serak di berbagai negara dan berbeda bahasa bisa berkumpul dengan tujuan yang sama: memperjuangkan berdirinya Israel. Meski masih banyak yang sangsi akan mampu mendirikan negara khusus bagi bangsa Yahudi, tetapi langkah positif sudah mereka laksanakan yakni dengan menyatukan tekad dalam cita-cita yang sama.

Konspirasi zionisme


Jika kita mendikusikan masalah Israel dan Zionisme dengan orang Arab atau mereka yang kurang dalam pemahamannya soal Timur Tengah, akan sangat mudah sekali kita terjebak ke dalam teori konspirasi. Banyak dikesankan bahwa Zionisme merupakan konspirasi kaum kolonial untuk melemahkan dunia Arab atau Islam. Tidak pernah dikaji secara mendalam bahwa gerakan Zionisme sukses karena kerja keras para pendukungnya ditambah dengan lemahnya atau cerai berainya bangsa Arab sendiri.

Hal ini bisa dilihat dari daftar siapa yang hadir dalam Kongres I di Basle tersebut. Dari 200 sampai 250 peserta yang hadir, hanya 162 orang yang berani mendaftarkan kehadirannya secara terbuka. Di antara mereka ini, selain Theodore Herzl maka yang mempunyai reputasi internasional hanyalah Israel Zangwill (intelektual Inggris) dan profesor Herman Schapira, pakar matematika dari Universitas Heidelberg, Jerman. Secara umum para delegasi Kongres I adalah kaum kelas menengah Yahudi, seperempat di antaranya kaum pengusaha, industriawan, dan keuangan. Kelompok terbesar ialah sastrawan, mahasiswa, dan kaum profesional seperti pengacara, wartawan, dokter, dan sebagainya. Juga terdapat 11 orang rabbi, seorang penjaga sinagog, seorang petani, seorang pemahat, dua orang ahli stenografi, dan seorang tukang cetak.

Mayoritas dari hadirin ialah kaum modernis dan liberal dalam pandangan agamanya. Ini untuk membedakan dari kelompok Orthodoks yang saat ini mendominasi kehidupan politik Israel. Bahkan, ada pula Yahudi yang ragu-ragu dalam kepercayaannya kepada Tuhan (agnostic). Bisa dikatakan hampir tidak ada kelompok ekstremis seperti kaum messianik karena mereka percaya bahwa kembalinya bangsa Yahudi dengan cara politik merupakan pengingkaran terhadap hukum Tuhan. Bangsa Yahudi, kata mereka, hanya akan kembali ke tanah suci dengan mukjizat.

Dari asal negara, sebagian besar dari Eropa Timur, terutama Rusia, Rumania, Serbia, Bulgaria, Austria, Polandia, Lithuania, dan Latvia. Beberapa kelompok datang dari Eropa Barat, Prancis, Inggris, Swiss, Jerman, dan Amerika Serikat. Mungkin yang pantas dicatat ialah tidak tampak wakil Yahudi dari negara-negara Arab atau Islam yang dikenal sebagai kaum Sephardim. Dengan demikian, sebenarnya Kongres I Zionis adalah Kongresnya Yahudi Ashkhenazi atau Yahudi Eropa.

Fakta ini menunjukkan bahwa ''masalah Yahudi'' (the Jewish question) adalah masalah Eropa. Bangsa Yahudi di dunia Arab atau Sephardim yang hidup berabad-abad lamanya dengan umat Islam tidak menghadapi masalah yang serius. Persoalan antara Yahudi dan Arab baru muncul justru setelah lahirnya Israel. Edward Said, intelektual Amerika terkemuka kelahiran Yerusalem mencatat bahwa di masa kecilnya sebelum adanya Israel, hubungan masyarakat Islam, Kristen, dan Yahudi di Palestina cukup baik. Memang sekali-kali muncul ketegangan tetapi masih dalam batas-batas yang wajar. Setelah gelombang Zionisme memasuki tanah Palestina dengan Deklarasi Balfour 1921, kerusuhan antara komunitas makin memuncak.

Setelah melalui perdebatan yang cukup seru, Kongres yang berlangsung selama tiga hari ini memutuskan empat pokok program kerja. Hal yang terpenting ialah disepakati bahwa Zionisme merupakan suatu gerakan yang bertujuan mendirikan ''perumahan'' bagi bangsa Yahudi di Palestina melalui jalan hukum. Untuk itu dirumuskan empat tujuan pokok sebagai berikut:

Pertama, memajukan tanah Palestina dengan hasil karya petani, seniman, dan pedagang Yahudi. Kedua, mengorganisasikan dan mempersatukan semua bangsa Yahudi dengan berbagai cara yang tepat sesuai dengan kondisi lokal dan sesuai dengan aturan umum yang berlaku di masing-masing negara. Ketiga, memperkuat rasa kebangsaan dan rasa kesadaran nasional Yahudi. Keempat, mempersiapkan berbagai tindakan dalam upaya mendapatkan izin pemerintah yang diperlukan bagi dicapainya tujuan Zionisme.

Semua program ini menjadi tanggung jawab kongres yang dalam sehari-hari ditangani oleh sebuah badan eksekutif di bawah pimpinan Herzl. Dialah, dengan pengalamannya sebagai wartawan internasional mulai menggarap beberapa politisi dan pejabat pemerintah di Barat untuk memberikan dukungan bagi Zionisme.

Manipulasi sejarah


Tidak ada manipulasi sejarah yang lebih dahsyat dari pada yang dilakukan kaum Zionis terhadap bangsa Palestina. Kongres Zionis I di Basle merupakan titik balik dari sejarah usaha perampasan tanah Palestina dari bangsa Arab. Namun hebatnya, para perampas ini tidak dianggap sebagai ''perampok'' tetapi malahan dipuja sebagai ''pahlawan'' dan bangsa Arab yang melawannya dianggap sebagai ''teroris'' dan penjahat yang perlu dihancurkan.

Salah satu kunci untuk memahami semua ini ialah karena sejak Kongres I kaum Zionis sudah mengerti kunci perjuangan abad XX yakni: diplomasi, lobi, dan penguasaan media massa. Herzl sebagai seorang wartawan yang berpengalaman dengan tangkas memanfaatkan tiga senjata andal dalam perjuangan politik abad modern ini. Sejak Kongres I, dia sangat rajin melobi para pembesar di Eropa, mendekati wartawan, dan melancarkan diplomasi ke berbagai negara. Hasilnya sungguh luar biasa. Zionisme lantas diterima sebagai gerakan politik yang sah bagi usaha merampas tanah Palestina untuk bangsa Yahudi.

Tokoh-tokoh Yahudi banyak terjun ke media massa, terutama koran dan industri film. Hollywood misalnya didirikan oleh Adolf Zuckjor bersaudara dan Samuel-Goldwyn-Meyer (MGM). Dengan dominasi yang luar biasa ini, mereka berhasil mengubah bangsa Palestina yang sebenarnya adalah korban kaum Zionis menjadi pihak ''penjahat''.

Edward Said, dalam bukunya Blaming The Victims secara jitu mengungkapkan bagaimana media massa Amerika menciptakan gambaran negatif bangsa Palestina. Sekitar 25 persen wartawan di Washington dan New York adalah Yahudi, sebaliknya hampir tidak ada koran atau TV Amerika terkemuka yang mempunyai wartawan Arab atau Muslim. Kondisi ini berbeda dengan media Eropa yang meskipun dalam jumlah terbatas masih memiliki wartawan Arab atau muslim. Dengan demikian laporan tentang Palestina di media Eropa secara umum lebih ''fair'' daripada media Amerika.

Edward Said yang terkenal dengan bukunya Orientalism (Verso 1978), menguraikan apa yang dilakukan kaum Zionis terhadap bangsa Palestina merupakan praktik kaum Orientalis yang sangat nyata. Pertama, sejarah ditulis ulang, yakni Palestina sebelum berdirnya Israel ialah: wilayah tanpa bangsa untuk bangsa yang tidak mempunyai tanah air. Kedua, bangsa Palestina yang menjadi korban dikesankan sebagai bangsa biadab yang jadi penjahat. Ketiga, tanah Palestina hanya bisa makmur setelah kaum Zionis beremigrasi ke sana.

Yerusalem dan tanah Palestina tampaknya akan semakin panas. Zionisme yang semula dimaksudkan sebagai pemecahan terhadap masalah Yahudi (Eropa) ternyata malahan menimbulkan masalah yang baru: yakni persoalan Palestina yang sampai sekarang tidak pernah selesai. (RioL)

Penafsiran Taurat yang Keliru oleh Kaum Zionis

Taurat adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa. Allah mengatakan dalam Alquran: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi),...” (QS. Al-Maa-idah, 5:44). Sebagaimana pula dinyatakan dalam Alquran, isi Taurat di kemudian hari telah dirubah dengan penambahan perkataan manusia. Itulah mengapa di zaman sekarang telah dijumpai “Taurat yang telah dirubah”.

Namun, pengkajian terhadap Taurat mengungkap keberadaan inti ajaran-ajaran Agama yang benar di dalam Kitab yang pernah diturunkan ini. Banyak ajaran-ajaran yang dikemukakan oleh Agama yang benar seperti keimanan kepada Allah, penyerahan diri kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya, takut kepada Allah, mencintai Allah, keadilan, cinta, kasih sayang, menentang kebiadaban dan kedzaliman tertulis dalam Taurat dan bagian-bagian lain dari Kitab Perjanjian Lama.

Selain itu, peperangan yang terjadi sepanjang sejarah dan pembantaian yang terjadi ini dikisahkan dalam Taurat. Jika seseorang berniat untuk mendapatkan dalil – meskipun dengan cara membelokkan fakta-fakta yang ada – untuk membenarkan tindakan keji, pembantaian dan pembunuhan, ia dapat dengan mudah mengambil bagian-bagian ini dalam Taurat sebagai rujukan untuk kepentingan pribadinya. Zionisme menempuh cara ini untuk membenarkan tindakan terorismenya, yang sebenarnya adalah terorisme fasis, dan ia sangat berhasil. Sebagai contoh, Zionisme telah menggunakan bagian-bagian yang berhubungan dengan peperangan dan pembantaian dalam Taurat untuk melegitimasi pembantaian yang dilakukannya terhadap warga Palestina tak berdosa. Ini adalah penafsiran yang tidak benar. Zionisme menggunakan agama sebagai alat untuk membenarkan ideologi fasis dan rasisnya.

Sungguh, banyak orang-orang Yahudi taat yang menentang penggunaan bagian-bagian Taurat ini sebagai dalil yang membenarkan pembantaian yang dilakukan terhadap warga Palestina sebagai tindakan yang benar. The Neturie Karta, sebuah organisasi Yahudi Ortodoks anti Zionis, menyatakan bahwa, nyatanya, “menurut Taurat, umat Yahudi tidak diizinkan untuk menumpahkan darah, mengganggu, menghina atau menjajah bangsa lain”. Mereka menekankan lebih jauh bahwa, “para politikus Zionis dan rekan-rekan mereka tidak berbicara untuk kepentingan masyarakat Yahudi, nama Israel telah dicuri oleh mereka”. (Rabbi E. Schwartz, Advertisement by Neturei Karta in New York Times, 18 Mei 1993)

Dengan menjalankan kebijakan biadab pendudukan atas Palestina di Timur Tengah dengan berkedok “agama Yahudi”, Zionisme sebenarnya malah membahayakan agama Yahudi dan masyarakat Yahudi di seluruh dunia, dan menjadikan warga Israel atau Yahudi diaspora sebagai sasaran orang-orang yang ingin membalas terhadap Zionisme.

Membedakan Zionisme dari Yahudi

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, sikap toleransi yang wajib diperlihatkan kaum Muslimin terhadap orang-orang ahli kitab telah terbukti sepanjang sejarah Islam. Selama berabad-abad, umat Islam memperlakukan kaum Yahudi dengan sangat bersahabat dan mereka menyambut persahabatan ini dengan kesetiaan. Namun, hal yang telah merusak keadaan ini adalah Zionisme.

Zionisme muncul pada abad ke-19. Dua hal yang menjadi ciri menonjol Eropa abad ke-19, yakni rasisme dan kolonialisme, telah pula berpengaruh pada Zionisme. Ciri utama lain dari Zionisme adalah bahwa Zionisme adalah ideologi yang jauh dari agama. Orang-orang Yahudi, yang merupakan para mentor ideologis utama dari Zionisme, memiliki keimanan yang lemah terhadap agama mereka. Bahkan, kebanyakan dari mereka adalah ateis. Mereka menganggap agama Yahudi bukan sebagai sebuah agama, tapi sebagai nama suatu ras. Mereka meyakini bahwa masyarakat Yahudi mewakili suatu ras tersendiri dan terpisah dari bangsa-bangsa Eropa. Dan, karenanya, mustahil bagi orang Yahudi untuk hidup bersama mereka, sehingga bangsa Yahudi memerlukan tanah air tersendiri bagi mereka.

Hingga saat kemunculan Zionisme di Timur Tengah, ideologi ini tidak mendatangkan apapun selain pertikaian dan penderitaan. Dalam masa di antara dua perang dunia, berbagai kelompok teroris Zionis melakukan serangan berdarah terhadap masyarakat Arab dan Inggris. Di tahun 1948, menyusul didirikannya negara Israel, strategi perluasan wilayah Zionisme telah menyeret keseluruhan Timur Tengah ke dalam kekacauan.

Titik awal dari Zionisme yang melakukan segala kebiadaban ini bukanlah agama Yahudi, tetapi Darwinisme Sosial, sebuah ideologi rasis dan kolonialis yang merupakan warisan dari abad ke-19. Darwinisme Sosial meyakini adanya perjuangan atau peperangan yang terus-menerus di antara masyarakat manusia. Dengan mengindoktrinasikan ke dalam otak mereka pemikiran “yang kuat akan menang dan yang lemah pasti terkalahkan”, ideologi ini telah menyeret bangsa Jerman kepada Nazisme, sebagaimana orang-orang Yahudi kepada Zionisme.

Kini, banyak kaum Yahudi agamis, yang menentang Zionisme, mengemukakan kenyataan ini. Sebagian dari para Yahudi taat ini bahkan tidak mengakui Israel sebagai negara yang sah dan, oleh karenanya, menolak untuk mengakuinya. Negarawan Israel Amnon Rubinstein mengatakan: “Zionisme adalah sebuah pemberontakan melawan tanah air (Yahudi) mereka dan sinagog para Pendeta Yahudi”. (Amnon Rubinstein, The Zionist Dream Revisited, hlm. 19)

Pendeta Yahudi, Forsythe, mengungkapkan bahwa sejak abad ke-19, umat Yahudi telah semakin jauh dari agama dan perasaan takut kepada Tuhan. Kenyataan inilah yang pada akhirnya menimpakan hukuman dalam bentuk tindakan kejam Hitler (kepada mereka), dan kejadian ini merupakan seruan kepada kaum Yahudi agar lebih mentaati agama mereka. Pendeta Forsythe menyatakan bahwa kekejaman dan kerusakan di bumi adalah perbuatan yang dilakukan oleh Amalek (Amalek dalam bahasa Taurat berarti orang-orang yang ingkar kepada Tuhan), dan menambahkan: “Pemeluk Yahudi wajib mengingkari inti dari Amalek, yakni pembangkangan, meninggalkan Taurat dan keingkaran pada Tuhan, kebejatan, amoral, kebiadaban, ketiadaan tata krama atau etika, ketiadaan wewenang dan hukum.” (Rabbi Forsythe, A Torah Insight Into The Holocaust, http://www.shemayisrael.com/rabbiforsythe/holocaust.)

Zionisme, yang tindakannya bertentangan dengan ajaran Taurat, pada kenyataannya adalah suatu bentuk fasisme, dan fasisme tumbuh dan berakar pada keingkaran terhadap agama, dan bukan dari agama itu sendiri. Karenanya, yang sebenarnya bertanggung jawab atas pertumpahan darah di Timur Tengah bukanlah agama Yahudi, melainkan Zionisme, sebuah ideologi fasis yang tidak berkaitan sama sekali dengan agama.

Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi pada bentuk-bentuk fasisme yang lain, Zionisme juga berupaya untuk menggunakan agama sebagai alat untuk meraih tujuannya.

Selasa, 17 Februari 2009

antara judaisme dan raisme

zionisme

Dunia tanpa zionis, damai.

Zionisme menampilkan dirinya sebagai sebuah gerakan politik yang memusatkan segala maksud dan upayanya untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina. Gerakan ini bermula pada akhir abad ke 19 dan berhasil mencapai tujuannya pada tahun 1948 ketika negara Israel diciptakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (atas desakan kuat Amerika Serikat dan tanpa adanya kesepakatan dengan negara-negara Timur Tengah). Secara perlahan, Israel mulai memperluas wilayah kekuasaannya dengan menganeksasi Tepi Barat pada perang tahun 1967 dan 1973.

Dalam perkembangannya, wajah Zionisme lebih tampak sebagai gerakan yang terus berupaya menguasai seluruh wilayah Palestina dan wilayah Timur Tengah lainnya dengan melakukan kekerasan dan ancaman kekerasan (melalui persenjataan yang diproduksi dan dibeli dengan milyaran dolar uang para pembayar pajak AS) serta memaksimalkan pengaruhnya dalam urusan-urusan Internasional dan sejarah dunia, terutama melalui control atas pemerintahan AS (utamanya dengan melakukan pemerasan terhadap para politisi korup). Semua itu dilakukan dengan risiko besar runtuhnya kestabilan sosial, bukan hanya bangsa Palestina tetapi juga seluruh masyarakat dunia.

Para propagandis Zionis mengklaim bahwa Yahudi memiliki hak atas semua tanah antara Sungai Nil hingga Eufrat karena, menurut mereka, tanah-tanah tersebut dianugerahkan oleh “YHWH” (Tuhan) kepada mereka, sebagaimana dinyatakan dalam perjanjian lama (Kejadian 15:18). Selain itu, Zionis juga mengklaim tanah Palestina karena wilayah ini pernah dikuasai dua negara kecil Yahudi, Judah dan Samaria, sebelum dihancurkan oleh Romawi pada abad pertama.

Klaim-klaim diatas bagi sebagian besar masyarakat dunia terdengar absurd. Jika klaim Zionis atas tanah Palestina, yang didasarkan atas penguasaan bangsa Yahudi terhadap wilayah itu 2000 tahun yang lalu, diterima, maka klaim-klaim suku Indian di Amerika Utara atas bekas tanah air mereka (seluruh wilayah AS) dan klaim Aborigin atas seluruh wilayah Australia juga harus dinyatakan sah, dan tanah-tanah itu mesti dikembalikan. Belum lagi jika kita menyebut keturunan-keturunan penduduk dari negara-negara kecil yang tak terhitung banyaknya dan yang timbul-tenggelam selama ribuan tahun perjalanan sejarah umat manusia, maka Zionis tidaklah memiliki hak yang lebih daripada siapapun.

Sementara itu, Zionis belumlah puas degan hanya memiliki negara diatas tanah Palestina. Mereka juga ingin agar negara ini hanya untuk bangsa Yahudi. Konsekuensinya, hasrat besar mereka adalah berupaya semaksimal mungkin untuk mengusir penduduk asli tanah itu dan menggantikannya dengan para diaspora Yahudi dari berbagai belahan dunia (maka tidak mengherankan jika sebagian besar anggota Israel Defense Forces [IDF-angkatan bersenjata Israel] bukan kelahiran Israel, bahkan Amir Peretz, menteri pertahanan Israel, lahir di Maroko).

Dalam hal ini, Tom Segev dalam bukunya, One Palestina, Complete: Jews and Arabs under the British Mandate, menulis sebagai berikut:

Gagasan relokasi telah berjalin-kelindan dengan gerakan Zionis sejak sangat awal, pertama kali muncul dalam catatan harian Theodore Herzl. Dalam praktiknya, Zionis mulai melaksanakan sebuah relokasi-kecil ketika mereka mulai menguasai tanah tersebut dan mengevakuasi para penduduk arab… “Melenyapkan” orang-orang arab sungguh tertanam kuat dalam mimpi Zionis, dan juga dipandang sebagai sebuah syarat yang meniscayakan eksistensi mereka… Dengan sedikit pengecualian, nyaris tak seorang Zionis pun yang meragukan pentingnya relokasi yang dipaksakan tersebut atau bahkan landasan moralnya.

Sebagai bangsa arab, rakyat Palestina adalah juga Semit. Dengan penistaan dan diskriminasi yang begitu telanjang terhadap bangsa Palestina, Israel justru sedang menunjukkan bahwa merekalah anti-semit yang sesungguhnya. Maka sejatinya, tuduhan anti-semitisme yang kerap mereka lontarkan (dan juga tuduhan sekutu Amerika dan Eropa mereka) kepada siapapun yang kritis terhadap Israel tidak lebih daripada kemunafikan yang nyata.

Zionisme bukan Yudaisme
Zionisme tidak semestinya dipersamakan dengan Yudaisme. Perilaku hina yang diperlihatkan pemerintah Israel terhadap rakyat Palestina memang didukung oleh sebagian besar Yahudi Israel tetapi jelas bukan semua Yahudi. Terdapat beberapa komunitas Yahudi yang sepenuhnya menentang Zionisme dan kebijakan Israel di wilayah-wilayah pendudukan Tepi Barat. Diantaranya adalah komunitas-komunitas seperti Not In My Name, Jews Against Zionism, The Great Gulf Between Zionism dan Judaism, dan komunitas Yahudi ortodoks Naturei Karta. Gila Atzmon, seorang aktivis Not In My Name dalam artikelnya Not In My Name: An Analysis of Jewish Righteousness menulis sebagai berikut:

Zionisme adalah…rasis, nasionalis, dan lebih terinspirasi secara biblical (ketimbang secara spiritual). Sebagai sebuah gerakan fundamentalis, secara kategori Zionisme tidak berbeda dengan Nazisme. Hanya apabila mengenali Zionisme dalam konteks Nasionalis dan rasisnyalah, kita akan mampu memahami betapa mengakar kekerasan di dalamnya.

Lalu mengapakah Zionisme dan Zionis tidak lantas diterima seluruh komunitas Yahudi? Berikut ini adalah beberapa alasan, sebagaimana yang ditulis oleh Rabbi E. Weissfish, dari kelompok Yahudi Ortodoks, Naturei Karta.

1. Terminologi Yahudi dan Yudaisme masing-masing merujuk kepada sebuah entitas keagamaan, bukan entitas rasial, sedangkan ideologi Zionis tegak atas dasar:
a. Sebuah upaya untuk mengubah entitas keagamaan Yahudi menjadi sebuah entitas rasial yang diikat hanya oleh kesamaan karakteristik kebangsaan, seperti sejarah bahasa yang sama, tanpa mempertimbangkan keyakinan kepada Sang Pencipta dan memperhatikan perintah-perintahNya.
b. Yudaisme bermakna sistem keyakinan, yang kami percayai telah diberikan kepada nenek-moyang kami oleh Sang Pencipta melalui Musa as dan nabi-nabi yang lain. Namun, makna tersebut diubah oleh Zionisme dari sebuah wahyu Ilahi menjadi sekedar seperangkat tradisi kelompok ras tertentu. Maka, menjadi seorang Yahudi yang taat dan setia kepada negara, apakah itu Amerika Serikat, Iran, atau negara-negara lainnya sama sekali bukanlah suatu kontradiksi.

2. Memperhatikan hal-hal diatas, maka ideologi Zionis mesti dilihat sebagai harapan sebagian orang Yahudi dalam terminology rasial untuk memiliki negara. Komunitas Yahudi Ortodoks, bagaimanapun, tidak percayai bahwa bangsa Yahudi terusir dari tanah mereka, 2000 tahun yang lalu, karena kekalahan militer tetapi akibat dari dosa-dosa yang mereka lakukan ketika menghuni tanah tersebut. Pada kenyataannya, Yahudi diperintahkan Sang Pencipta, melalui para nabinya, untuk tidak menyelesaikan keterusiran mereka melalui relokasi dalam bentuk fisik (lihat Talmud traktat Kesubos 111a). Namun, bangsa Yahudi harus tetap menjadi warga negara yang loyal kepada pemerintahan negara-negara tempat mereka tinggal (sepanjang sejarah, bahkan setelah Yahudi terusir dari Tanah Suci, selalu terdapat komunitas Yahudi yang hidup secara damai di Tanah Suci).

Mereka menjadi warga negara yang setia tanpa berupaya mendirikan sebuah negara baru, seperti yang dilakukan Zionis sekarang. Kini, mereka pun menentang pemerintahan Zionis dan menolak untuk menerima bantuan keuangan dari pemerintah atau berpartisipasi dalam pemilu. Rabbi Moshe Hirsch dari Yerusalem sering kali mengunjungi para pemimpin Palestina untuk menyatakan bahwa Yahudi Ortodoks di Tanah Suci hanya ingin hidup di bawah pemerintahan Palestina bukan Zionis.

3. Namun sayangnya, melalui kekuatan uang, propaganda, dan juga media, Zionis terus mencitrakan diri mereka ke dunia sebagai wakil dari masyarakat Yahudi. Dalam propaganda, mereka juga menggunakan sejumlah kelompok yang dinamakan Zionis ‘religius’ untuk membodohi dunia agar percaya bahwa hak mereka atas Tanah Suci dan ketertindasan mereka di hadapan bangsa Palestina memiliki klaim teologis dalam Yudaisme. Pembunuhan dan penindasan yang mereka lakukan terhadap bangsa Palestina, bagaimanapun, telah menodai Yahudi dua kali lipat karena melakukan hal-hal nista itu dengan mengatasnamakan masyarakat Yahudi dan Tuhan. Karena alasan inilah, komunitas Yahudi Ortodoks melihat bahwa kini saatnya untuk menyatakan kepada dunia bahwa mereka, yang setiap kepada Taurat dan Sang Pencipta, menentang Zionis dan kebiadaan yang mereka perbuat. Komunitas Yahudi Ortodoks akan terus berupaya dan berdoa demi keruntuhan ‘negara’ Zionis dan kelahiran dunia yang damai.

sumber: www.icc-jakarta.com

Membedakan Zionisme dari Yahudi

HARUN YAHYA



kirim saran klo salah


Sebagaimana disebutkan sebelumnya, sikap toleransi yang wajib diperlihatkan kaum Muslimin terhadap orang-orang ahli kitab telah terbukti sepanjang sejarah Islam. Selama berabad-abad, umat Islam memperlakukan kaum Yahudi dengan sangat bersahabat dan mereka menyambut persahabatan ini dengan kesetiaan. Namun, hal yang telah merusak keadaan ini adalah Zionisme.

Zionisme muncul pada abad ke-19. Dua hal yang menjadi ciri menonjol Eropa abad ke-19, yakni rasisme dan kolonialisme, telah pula berpengaruh pada Zionisme. Ciri utama lain dari Zionisme adalah bahwa Zionisme adalah ideologi yang jauh dari agama. Orang-orang Yahudi, yang merupakan para mentor ideologis utama dari Zionisme, memiliki keimanan yang lemah terhadap agama mereka. Bahkan, kebanyakan dari mereka adalah ateis. Mereka menganggap agama Yahudi bukan sebagai sebuah agama, tapi sebagai nama suatu ras. Mereka meyakini bahwa masyarakat Yahudi mewakili suatu ras tersendiri dan terpisah dari bangsa-bangsa Eropa. Dan, karenanya, mustahil bagi orang Yahudi untuk hidup bersama mereka, sehingga bangsa Yahudi memerlukan tanah air tersendiri bagi mereka.

Hingga saat kemunculan Zionisme di Timur Tengah, ideologi ini tidak mendatangkan apapun selain pertikaian dan penderitaan. Dalam masa di antara dua perang dunia, berbagai kelompok teroris Zionis melakukan serangan berdarah terhadap masyarakat Arab dan Inggris. Di tahun 1948, menyusul didirikannya negara Israel, strategi perluasan wilayah Zionisme telah menyeret keseluruhan Timur Tengah ke dalam kekacauan.

Titik awal dari Zionisme yang melakukan segala kebiadaban ini bukanlah agama Yahudi, tetapi Darwinisme Sosial, sebuah ideologi rasis dan kolonialis yang merupakan warisan dari abad ke-19. Darwinisme Sosial meyakini adanya perjuangan atau peperangan yang terus-menerus di antara masyarakat manusia. Dengan mengindoktrinasikan ke dalam otak mereka pemikiran “yang kuat akan menang dan yang lemah pasti terkalahkan”, ideologi ini telah menyeret bangsa Jerman kepada Nazisme, sebagaimana orang-orang Yahudi kepada Zionisme.

Kini, banyak kaum Yahudi agamis, yang menentang Zionisme, mengemukakan kenyataan ini. Sebagian dari para Yahudi taat ini bahkan tidak mengakui Israel sebagai negara yang sah dan, oleh karenanya, menolak untuk mengakuinya. Negarawan Israel Amnon Rubinstein mengatakan: “Zionisme adalah sebuah pemberontakan melawan tanah air (Yahudi) mereka dan sinagog para Pendeta Yahudi”. (Amnon Rubinstein, The Zionist Dream Revisited, hlm. 19)

Pendeta Yahudi, Forsythe, mengungkapkan bahwa sejak abad ke-19, umat Yahudi telah semakin jauh dari agama dan perasaan takut kepada Tuhan. Kenyataan inilah yang pada akhirnya menimpakan hukuman dalam bentuk tindakan kejam Hitler (kepada mereka), dan kejadian ini merupakan seruan kepada kaum Yahudi agar lebih mentaati agama mereka. Pendeta Forsythe menyatakan bahwa kekejaman dan kerusakan di bumi adalah perbuatan yang dilakukan oleh Amalek (Amalek dalam bahasa Taurat berarti orang-orang yang ingkar kepada Tuhan), dan menambahkan: “Pemeluk Yahudi wajib mengingkari inti dari Amalek, yakni pembangkangan, meninggalkan Taurat dan keingkaran pada Tuhan, kebejatan, amoral, kebiadaban, ketiadaan tata krama atau etika, ketiadaan wewenang dan hukum.” (Rabbi Forsythe, A Torah Insight Into The Holocaust, http://www.shemayisrael.com/rabbiforsythe/holocaust.)

Zionisme, yang tindakannya bertentangan dengan ajaran Taurat, pada kenyataannya adalah suatu bentuk fasisme, dan fasisme tumbuh dan berakar pada keingkaran terhadap agama, dan bukan dari agama itu sendiri. Karenanya, yang sebenarnya bertanggung jawab atas pertumpahan darah di Timur Tengah bukanlah agama Yahudi, melainkan Zionisme, sebuah ideologi fasis yang tidak berkaitan sama sekali dengan agama.

Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi pada bentuk-bentuk fasisme yang lain, Zionisme juga berupaya untuk menggunakan agama sebagai alat untuk meraih tujuannya.

Penafsiran Taurat yang Keliru oleh Kaum Zionis

Taurat adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa. Allah mengatakan dalam Alquran: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi),...” (QS. Al-Maa-idah, 5:44). Sebagaimana pula dinyatakan dalam Alquran, isi Taurat di kemudian hari telah dirubah dengan penambahan perkataan manusia. Itulah mengapa di zaman sekarang telah dijumpai “Taurat yang telah dirubah”.

Namun, pengkajian terhadap Taurat mengungkap keberadaan inti ajaran-ajaran Agama yang benar di dalam Kitab yang pernah diturunkan ini. Banyak ajaran-ajaran yang dikemukakan oleh Agama yang benar seperti keimanan kepada Allah, penyerahan diri kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya, takut kepada Allah, mencintai Allah, keadilan, cinta, kasih sayang, menentang kebiadaban dan kedzaliman tertulis dalam Taurat dan bagian-bagian lain dari Kitab Perjanjian Lama.

Selain itu, peperangan yang terjadi sepanjang sejarah dan pembantaian yang terjadi ini dikisahkan dalam Taurat. Jika seseorang berniat untuk mendapatkan dalil – meskipun dengan cara membelokkan fakta-fakta yang ada – untuk membenarkan tindakan keji, pembantaian dan pembunuhan, ia dapat dengan mudah mengambil bagian-bagian ini dalam Taurat sebagai rujukan untuk kepentingan pribadinya. Zionisme menempuh cara ini untuk membenarkan tindakan terorismenya, yang sebenarnya adalah terorisme fasis, dan ia sangat berhasil. Sebagai contoh, Zionisme telah menggunakan bagian-bagian yang berhubungan dengan peperangan dan pembantaian dalam Taurat untuk melegitimasi pembantaian yang dilakukannya terhadap warga Palestina tak berdosa. Ini adalah penafsiran yang tidak benar. Zionisme menggunakan agama sebagai alat untuk membenarkan ideologi fasis dan rasisnya.

Sungguh, banyak orang-orang Yahudi taat yang menentang penggunaan bagian-bagian Taurat ini sebagai dalil yang membenarkan pembantaian yang dilakukan terhadap warga Palestina sebagai tindakan yang benar. The Neturie Karta, sebuah organisasi Yahudi Ortodoks anti Zionis, menyatakan bahwa, nyatanya, “menurut Taurat, umat Yahudi tidak diizinkan untuk menumpahkan darah, mengganggu, menghina atau menjajah bangsa lain”. Mereka menekankan lebih jauh bahwa, “para politikus Zionis dan rekan-rekan mereka tidak berbicara untuk kepentingan masyarakat Yahudi, nama Israel telah dicuri oleh mereka”. (Rabbi E. Schwartz, Advertisement by Neturei Karta in New York Times, 18 Mei 1993)

Dengan menjalankan kebijakan biadab pendudukan atas Palestina di Timur Tengah dengan berkedok “agama Yahudi”, Zionisme sebenarnya malah membahayakan agama Yahudi dan masyarakat Yahudi di seluruh dunia, dan menjadikan warga Israel atau Yahudi diaspora sebagai sasaran orang-orang yang ingin membalas terhadap Zionisme.

Sabtu, 24 Januari 2009

Paman Sam dan Negara Arab Jilat Pantat Israel. Palestina Menangis

Mak Erot's picture


Israel benar-benar “biadab” dan tak beradab. Mereka memberikan parcel Tahun Baru Islam (1430 H) bagi Palestina yang sangat menyakitkan. Sudah satu minggu rakyat Palestina dihujani peluru dan mortir Israel yang semakin brutal dan tak beradab. Bukan hanya pusat pergerakan Hammas yang diserang. Tapi sekolah-sekolah dan masjid-masjid –sudah 8 masjid dihancurkan. Tampaknya sudah menjadi agenda ‘khusus’ Israel untuk memberikan surprise yang menyakitkan dan memilukan bagi rakyat Palestina.

Sebenarnya, surprise itu bukan hanya untuk Palestina, tapi untuk seluruh umat Islam. Karena umat Islam adalah “satu tubuh”, seperti yang digambarkan Rasulullah dalam sabdanya. Tapi apa kabar dengan umat Islam hari ini? Berbagai hujatan diluncurkan untuk membalas hujan peluru dan bom di Palestina. Rakyat Palestina yang meradang, umat Islam hanya bisa saling hujat dan saling kutuk. Pemerintah umat Islam benar-benar sudah mengidap penyakit wahn, seperti ramalan Baginda Rasulullah. Wahn, terlalu cinta kepada dunia dan takut mati.

Kenyatan Pahit
Negara-negara Muslim boleh saja berbangga dengan mengirimkan bantuan berton-ton obat-obatan dan makanan. Tapi perlu dicatat, rakyat Palestina bukan hanya butuh itu. Mereka butuh kiprah langsung di medan juang. Saat ini. Ya, ini lah saatnya umat Islam dan negara-negara Muslim menunjukkan solidaritasnya. Ukhuwwah yang konkret dan bukan kamuflase. Itu harapan semua orang dan berbagai pihak. Tapi apa daya. Kenyataan pahit lah yang kita saksikan hari ini.

http://a.abcnews.com/images/Politics/obama_israel2_080723_mn.jpg

Pemimpin negara Muslim hanya bisa saling tuduh dan saling hujat. Ali Khamenei menghujat Mesir. Begitu juga dengan sekjen Hizbullah, Sayyid Hassan Nashrullah dari Lebanon. Mesir malah tenang-tenang, bahkan balik menuduh Iran punya kepentingan dan Nasrhrullah yang menghancurkan Lebanon. Ada apa dengan Mesir?

Negara-negara Muslim lain masih tak bergeming. Tidak usah tanya negara Saudi Arabia dan negara-negara Teluk serta Emirat. Bukan kah mereka sudah berada dalam genggaman negeri Paman Sam? Apa yang dapat dilakukan oleh negera-negara yang sudah ‘candu’ dengan bantuan dan dukungan negara paling kurang-ajar akhir-akhir, karena kasus Afganistan dan Irak.

Mesir adalah negara paling dekat dengan Israel, karena punya benteng Rafah. Sampai hari ini belum juga dibuka. Meskipun duta Mesir untuk Indonesia pernah menyatakan itu sudah dibuka. Ternyata tidak. Sampai hari ini, partai oposan dari pihak Ikhwan Muslimin (IM) terus mendesak pemerintah Mesir agar membukanya. Kemungkinan besar, kata www.aljazeera.net (Jum‘at, 2/1/09), demonstrasi besar-besaran akan terjadi di perbatasan Mesir-Israel, sebagai bentuk solidaritas umat terhadap saudaranya di Palestina. Ini lah yang mesti ditunjukkan dan dikerjakan secepatnya. Jangan ditunda-tunda lagi. Buka Rafah secepatnya!

Paman Sam Pelanggar HAM
Draft yang diajukan oleh Perancis dan Mesir serta beberapa negara lain agar kiranya gencatan senjata segara dilakukan ditolak oleh Amerika Serikat (Republika, 2/1/2009). DK PBB tidak usah ditanya. Paling banter mereka hanya mengeluarkan resolusi PBB. Dan mereka belum tentu menghukum Israel atas kejahatan dan kebiadabannya. Konon lagi Israel adalah ‘anak emas’ Paman Sam. Ditambah lagi Paman Sam punya “hak veto” bersama empat negara lainnya. Semuanya adalah Barat, dan semuanya “membenci” Islam. Sekjen PBB? Tidak ada giginya sama sekali. Dan sepertinya sengaja, yang menjadi sekjen PBB adalah negara-negara kecil, yang masih butuh uluran tangan negeri Paman Sam. Dilematis. Benar-benar dilematis.

Sudah saatnya negara-negara Arab bersatu-padu membela saudaranya. Atau kah itu terlalu sulit, karena masing-masing mempertahankan ‘ashabiyyah (kesukuan, chauvinisme)nya, seperti kata Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya. Itu lah penyakit negara Arab. Mungkin mereka merasa, bukan negara mereka yang sedang dijajah dan diluluh-lantakkan. Biarkan lah Palestina menyelesaikan urusan negaranya. Mungkin juga sumbu nalar mereka terlalu pendek. Sehingga tidak sadar ketika seluruh negara Islam dihancurkan, tidak ada yang dapat mereka lakukan.

Perlu Diwaspadai
Umat Islam harus cerdas membaca situasi. Bukankah Taliban di Afganistan sedang digempur habis-habisan oleh pasukan dan negara-negara Barat yang pengecut. Berapa negara yang dikirim ke sana hanya untuk menghancurkan Taliban. Alasan di sebalik itu bukan “Taliban”, tapi Taliban mempertahankan dan memperjuangkan Islam. Di Irak juga sama. Berapa negara yang diminta oleh Paman Sam untuk membantu menghancurkan negara Seribu Satu Malam itu. Bukan karena Saddam Husein yang dispotik dan tiranik. Tapi karena Saddam Muslim dan sedang melawan arus kepentingan Amerika. Bukan pula karena Irak memiliki senjata pembunuh massal, tapi karena masalah negeri Paman Sam yang butuh minyak. Buktinya George W. Bush mengakui bahwa senjata pembunuh massal tidak ada. Toh akhirnya Bush menyesal. Sungguh, penyesalan yang dibuat-buat.

Beberapa waktu lalu Amerika juga mulai cari gara-gara di Syiria. Serangan pesawat tempurnya membunuh 10 orang tak berdosa. Alasannya klasik: Kami sedang mengejar teroris yang bersembunyi di Syiria. Dengan Iran juga begitu. Sampai hari ini masih bersitegang. Tampaknya Iran akan dijadikan “Irak” kedua. Karena alasannya sama-sama “nuklir”. Dapat dibayangkan sekiranya Syira hancur, Taliban hangus, dan Iran luluh-lantak. Apa yang dapat dilakukan oleh negara-negara Saudi Arabia, Abu Dhabi, Emirat, Yaman, Yordania, apalagi Indonesia. Tidak akan ada yang berani tampil sebagai kekuatan penyeimbang. Karena semuanya sudah menjadi ‘budak’ Barat. Semuanya sudah menjadi “penjilat” demi kepentingan palliative.

Sebagai Muslim tentunya kita tidak boleh putus asa, karena itu adalah sifat kaum Kafir kata Allah. Kita ingin melihat dengan nyata, masihkah negara-negara Muslim-Arab diam melihat saudaranya digempur habis-habisan. Atau mereka akan turun dan terjun langsung angkat senjata ke negeri Palestina. Kita tidak ingin seperti pepatah klasik yang menyatakan, ‘Ittafaqu ‘ala alla yattafiqu’, ‘Negara-negara Arab-Muslim biasanya berkumpul dan sepakat untuk “tidak sepakat”. Wallahu a‘lamu bi al-shawab.





Konflik Israel-Palestina

January 25th, 2008

Perselisihan Israel dan Palestina, sekaligus hubungan Indonesia dengan Israel.

Mengunjungi Israel

Pada awal Desember 2007, lima wakil dari lembaga Islam Indonesia, termasuk Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama, berangkat ke Israel dan menemui presidennya, Shimon Peres. Kunjungan mereka disponsori oleh Simon Wiesenthal Center dan LibForAll Foundation.

Shimon Peres menyatakan bahwa ia sangat gembira menerima para ulama tersebut, dan ia juga berharap jika lebih banyak orang Indonesia yang mau mengunjungi Israel di bulan Mei 2008 untuk mendoakan damai sambil merayakan ulang tahun Israel yang keenam puluh.

Perwakilan Indonesia di Israel
Perwakilan Indonesia di Israel.

Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur Syafiq Mugni berharap kalau masyarakat Muslim Indonesia dapat menjadi lebih toleran, walaupun beliau juga mengakui masih banyak yang menentang demokrasi. Abdul A’la dari NU pun mengakui adanya kelompok-kelompok Islam garis keras di Indonesia.

Din Syamsudin dan Hasyim Muzadi yang masing-masing merupakan pemimpin Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama, menyampaikan ketidaktahuan mereka akan kepergian anggotanya ke Israel.

Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno (Mbah Tardjo) dari PDI-P menyuarakan penolakannya terhadap kunjungan tersebut, karena Israel masih menduduki Palestina. Lagipula, bangsa Israel yang terkenal medhit (pelit) tidak akan memberikan bantuan apapun untuk Indonesia, ujarnya.

Kolonialisme Bukan Islam

Pada bulan Desember, mantan Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas berujar kalau dukungan Indonesia terhadap Palestina tidak ada hubungannya dengan agama.

Banyak kalangan yang salah paham mengaitkan dukungan Indonesia kepada Palestina dengan agama.

Ia mengatakan bahwa kedudukan Indonesia yang pro-Palestina memang masalah prinsip, sesuatu yang dinyatakan oleh konstitusi kalau kemerdekaan adalah hak setiap negara yang tidak bisa diganggu gugat, dan maka itu, semua bentuk penjajahan harus dihapuskan.

Dituntun oleh keyakinan ini, Indonesia telah giat mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa lain, seperti Afrika Selatan dan Namibia, ujarnya.

Beliau menyesali keadaan dimana banyak orang mengira dukungan Indonesia untuk Palestina didorong oleh persaudaraan Islam.

Kekhawatiran Hak Asasi Manusia

Di tanggal 24 Januari 2008, sebagai akibat dari pemblokiran daerah Palestina dan penyerangan-penyerangan oleh pasukan Israel, anggota DPR Andreas H Pareira dari PDI-P mengatakan bahwa Indonesia harus melakukan persuasi terhadap Amerika untuk:

…memaksa Israel agar tidak menggunakan kekerasan terhadap Palestina.

Pareira mengatakan Israel hanya mau mendengarkan Amerika:

Kita tidak bisa menyalahkan Amerika Serikat saja, namun Indonesia bersama dengan negara-negara Muslim lain perlu meyakinkan Amerika Serikat untuk bertindak terhadap Israel, dan bukannya hanya mengutarakan kecaman.

Hajriyanto Y Thohari dari Partai Golkar justru mengatakan Indonesia harus menekan Amerika Serikat untuk segera mengambil sikap terhadap Israel.

Ini sesungguhnya tindakan semena-mena Israel untuk kesekian kalinya. Lalu, quo vadis PBB. Kita semua harus berbuat sesuatu, jika memang kita masih memiliki rasa kemanusiaan dan menganggap dunia ini masih beradab.

Artikel ini diterjemahkan oleh Hannah Mulders dari versi bahasa Inggris - Israeli Palestinian Conflict.

298 Komentar untuk “Konflik Israel-Palestina”

Pages: [1] 2 3 4 5 6 7 8 9 10 »

  1. Nana bilang:
    February 9th, 2008 at 10:01 am

    Sebel jg sm israel. katanya mau damai, tp kok palestina tetap digempur? Itu perdamaian mananya? Lucu. Sebagai org indonesia yang brkesempatan datang ke israel, harusnya berani bicara serius untuk membuat ‘perdamaian sungguhan’! Ga sekedar dateng…

  2. Kesih bilang:
    May 18th, 2008 at 7:12 pm

    Kenapa sih susah bgt nyari artikel ini

  3. Andy bilang:
    May 26th, 2008 at 12:49 am

    Palestina itu kalau perlu digempur habis2an. Saya tidak mengerti kenapa Ali Alatas dan beberapa anggota DPR RI dan khususnya umat islam indonesia sangat tidak suka dengan bangsa Israel. Yang mengempur Palestina bukan Israel saja, tetapi Sirya juga akan bertindak tegas kepada Palestina.

    Negara Palestina dan Bangsa Palestina adalah bukti kebohongan bangsa Arab dan keserakahan bangsa Arab. Sepanjang sejarah tidak ada negara yang dinamakan Palestina, maka dari itu jelas tidak ada yang dinamakan rakyat/bangsa Palestina. Palestina aníllala nama tempat. Kalaupun ada yang jelas bangsa Palestina pasti berasal dari suku Yahudi bukan Arab. Yang ada adalah tanah air suku Yahudi yang dinamakan Judea yang kemudian diganti nama menjadi Syria Palestina atau singkatnya Palestina oleh bangsa Romawi. Negara Israel modern yang ada sekarang ini adalah kelanjutan dari sejarah panjang, lebih dari 3000 tahun yang lalu, eksistensi orang Yahudi.

    Didalam Alqur’an saja tidak nama Palestina ataupun Falistine. Ini jelas kebohongan orang2 Arab. Yang jelas Jerusalem itu milik bangsa Israel dan Sirya.

  4. Rob bilang:
    May 26th, 2008 at 1:56 am

    Kalau argumentasi seperti ini yang berdasarkan Al-Kitab atau Al-Qur’an terlalu simplistis. Kita tidak bisa sekarang berhenti negosiasi untuk satu Negara bernama Palestina karena gak disebut di Al-Qur’an, masa berhenti di saat ini dan minta maaf sama orang Palestina itu dengan alasan, “wah, setelah baca kembali al-Qur’an kita harus minta maaf karena terus terang di sana tidak ada nama palestina atau orang palestina!”

    Aku dengar ini seperti pembahasan tentang kontrak perdata dimana satu pihak mengklaim bahwa hak mereka lebih kuat karena itu hak yang pertama dalam waktunya (first in time)…Nah, argumentasi Andy ini adalah karena sejarah orang Yahudi di dalam lokasi2 penting ini lebih panjang lalu mereka punya hak yang harus diakui terlebih dahulu.

    Menarik tapi simplistis.

    Sebenarnya yang perlu sekarang ada resolusi atau komitment terhadap Negara Palestina yang dapat ko-eksist dengan negara lain, mislanya Israel atau Siria.

  5. Andy bilang:
    May 26th, 2008 at 10:33 am

    Kita harus kembali kepada sejarah Jerusalem.
    Banyak orang salah kaprah dengan mengatakan orang2 Yahudi dipaksa keluar dari tanah mereka oleh tentara Romawi setelah Kuil(Synagogue) kedua mereka di Yerusalem dihancurkan tahun 70 M. Lalu menurut pengertian sejarah salah kaprah ini; 1.800 tahun kemudian, tiba2 orang2 Yahudi kembali ke Palestina dan menuntut kembali tanah airnya. Faktanya adalah: orang2 Yahudi tetap mempertahankan tanah air mereka selama 3.700 tahun. Bahasa nasional dan kebudayaan khas Yahudi tetap bertahan di wilayah itu.

    Yahudi menganggap Israel sebagai tanah airnya berdasarkan 4 (empat) hal:

    1. Tuhan sendiri yang menjanjikan tanah warisan ini kepada Abraham
    2. Orang2 Yahudi tetap hidup disitu dan merawat daerah itu
    3. Pemberian kedaulatan penuh oleh PBB kepada Yahudi di Palestina
    4. Penguasa daerah berdasarkan perang bela diri

    Istilah “ Palestina” diambil dari kata Filistine, yakni merujuk pada orang2 Aegea yang pada abad 12 SM tinggal di tepi Mediterania yang sekarang dikenal sebagai Israel dan Jalur Gaza. Abad 2 M, setelah menghancurkan pemberontakan Yahudi, pemerintah Romawi untuk pertama kalinya memberi nama Palestina pada tanah Yudea (bagian selatan Israel yang sekarang dikenal sebagai Tepi Barat) dalam usaha untuk menciutkan identitas Yahudi dengan tanah Israel. Kata Arab “ Filastin” diambil dari nama Latin ini.

  6. Andy bilang:
    May 26th, 2008 at 10:39 am

    Ahli sejarah Arab terkemuka AS, Prof. Phillip Hitti dari Universitas Princeton, membuat pengakuan di depan Anglo-American Committée di tahun 1946, dengan mengatakan: “ Tidak pernah ada “Palestina” dalam sejarah, sama sekali tidak.”

    Memang, Palestina juga tidak pernah ditulis dengan tegas dalam Qur’an yang disebut adalah “Tanah Suci” (al-Arad al-Muqaddash).

    Sebelum adanya pembagian daerah, orang2 Arab Palestina tidak melihat diri mereka punya identitas yang terpisah. Tapi ketika First Congress of Muslim-Christian Associations bertemu di Jerusalem di bulan Februari 1919 untuk memilih wakil2 Palestina untuk Konferensi Perdamaian Paris, pernyataan berikut diumumkan:

    Kami merasa Palestina adalah bagian dari Syria Arab, karena bagian ini tidak pernah terpisah dari Syria dalam waktu kapanpun. Kami berhubungan dengan Syria secara kenegaraan, agama, bahasa, ekonomi dan ikatan daerah.

    Tahun 1937, pemimpin Arab setempat, Auni Bey Abdul-Hadi, menyatakan Peel Comissión yang pada prinsipnya menuntut bagian Palestina: “ Tidak ada negara (Palestina)!! Kata “Palestina” itu diciptakan oleh Zionist! Tidak ada kata Palestina dalam Alkitab. Tanah air kami sejak berabad-abad merupakan bagian dari Syria.

    Wakil Arab Higher Committee untuk PBB mengajukan pernyataan di General Assembly di bulan May 1947 yang menyatakan bahwa “ Palestina” merupakan bagian dari Propinsi Syria” dan karenanya, secara politis, orang2 Arab Palestina tidak terpisah dari Syria dan tidak bisa membentuk kesatuan politis yang terpisah dari Syria.

    Beberapa tahun kemudian, Ahmed Shuqeiri, yang lalu jadi PLO, mengatakan pada Security Council: “ Sudah jadi pengetahuan umum bahwa Palesrtina adalah bagian Selatan Syria”.

    Nasionalisme Arab Palestina kebanyakan muncul setelah Perang Dunia I. Tapi ini tidak jadi gerakan politik yang bermakna sampai terjadi Perang Enam Hari (six day war) di tahun 1967 dan Israel menguasai Tepi Barat.

  7. Rob bilang:
    May 26th, 2008 at 1:41 pm

    Andy yg budiman…

    Nah, isu ini bukan apakah aku setuju atau tidak dengan interpretasi sejarah Israel dan orang Yahudi atau kesaksian beberapa orang pada tahun 1946an…

    Sebenarnya isu buat aku adalah saat ini setelah kami sudah mulai proses pengakuan hak orang Palestina (Filistine) untuk mempunyai negara sendiri dan proses ini sudah berlangsung lama dan sudah makan banyak korban apakah kita bisa drop aja dan ‘back track’ dan bilang sama orang Palestina, “maaf tapi konsep negara Palestina adalah kesalahan besar berdasarkan sejarah daerah ini sehingga proses ini diberhentikan langsung!”

    Mungkin kita harus setuju untuk tidak setuju!

  8. Andy bilang:
    May 26th, 2008 at 5:40 pm

    … hello rob, makasih utk diskusi Palestina.

    Masalahnya Palestina dan orang2 Arab yang mayoritas di Jerusalem sendiri tidak pernah akur satu sama yang lain. Saat PLO terbentuk dahulu ada 2 kubu. yang satu garis keras yg dimanakan Elfatah… dan mereka mayoritas pro Sirya. Ada Piagam PLO sampai saat ini masih menuntut penghancuran negara Israel. Pemimpin Palesina saat ini agak sulit melakukan perdamaian dengan Israel. Disisi lain kelompok Yasser Arafat dan pengantinya sekarang ini sangat moderate dan mau berdamai dengan Israel… menggigat di Palestina sendiri terdiri dari 55% Palestina beragama Islam dan 45% yg beragama Kristen. Mereka semua PLO yang mau berdiri negara sendiri. tetapi disisi lain Elfata yg didukung oleh Sirya tdk mengigini kemerdekaan… karena mereka mengklaim bahwa Jerusalem adalah bagian dr provinsi Sirya selatan…. ini juga membuat bangsa Israel kesulitan. bangsa Isarel sangat menghormati Yasser Arafat, karena bangsa Israel sangat yakin pemikiran almarhum Yasser Arafat yang sangat modern. Bagaimana cara menghilangkan piagam PLO itu?? apa Amerika, Rusia dan Indonesia bisa mencabut piagam PLO itu??

    Saya coba menjelaskan dan uraikan sejarah ini dengan apa adanya…

  9. Andy bilang:
    May 26th, 2008 at 6:16 pm

    Rob,
    disini bukan maslah Isarelnya yang menjadi batu sandungan, tetapi didalam tubuh Palestina/PLO masih ada dua lisme. Sirya sendiri bermuka dua, tidak mungkin Sirya membiarkan Palestina merdeka…. tidak mengkin. Hamas sendiri adalah boneka Sirya yang diciptakan untuk penghancuran keinginan rakyat Palestina merdeka. Bagi Isarel pembagian tanah yang sudah disahkan oleh PBB sangat cukup buat mereka. Tetapi keinginan garis keras Arab/PLO tetap penghancuran Israel.

    Tahun 1919, Inggris mendapat mandate dari League of Nations (Liga Bangsa) untuk mengawasi daerah Palestina, setelah kerajaan Ottoman tumbang. Daerah ini meliputi daerah modern Israel, Jordan, West bank dan Jalur Gaza (pada waktu itu kerajaan Jordan belum exist). Tujuan dari mandat ini kepada Inggris adalah membentuk negara untuk bangsa Israel/Yahudi.

    Ketika Inggris menerima mandat tanah Palestina, daerah ini cakupannya sangat luas sampai ke Jordan dan memang mayoritas penduduk di daerah ini adalah bangsa Arab. Maka itu atas pertimbangan keadilan, Inggris meminta kepada Liga Bangsa untuk membagi daerah ini menjadi dua bagian, satu untuk pendudukan suku Yahudi dan satu untuk bangsa Arab. Daerah untuk bangsa Israel hanya 23% dan dinamakan Palestina. Sedangkan untuk bangsa Arab 77% yang dinamakan Transjordan yang kemudian kerajaan Jordania. Sampai titik ini, semua adil. Bangsa Arab sebagai penghuni mayoritas mendapat potongan tanah mayoritas pula. Tapi rupanya bagi mereka ini tidak cukup, maka yang kita lihat sekarang adalah orang-orang Arab yang menamakan dirinya bangsa Palestina ingin mencaplok semua daerah Israel dan mengusir semua bangsa Israel keluar dari tanah Timur Tengah. Kalau kita lihat dari pembagian wilayah, apakah ini tidak fare?… bangsa Arab Palestina memperoleh cukup luas.

    Daerah territorial Israel hanya 1:650 dibanding keseluruhan jumlah lahan negara Palestina Arab. Penduduknya hanya 1:50 dari total penduduk negara2 Arab.

    21 dari negara2 arab adalah anggota PBB dan ada 52 tambahan suara dari negara2 islam

    Yahudi menjalankan Ibadan menghadap Jerusalem, muslim menghadap Mekah, bertolak belakang dengan Jerusalem.

    “ Surat Tanda Lahir” Israel secara international disahkan oleh janji Tuhan dalam alkitab; masyarakat Yahudi yang tinggal terus menerus di Israel sejak jaman Yoshua sampai saat ini; Deklarasi Balfour di tahun 1817; Mandat Liga Bangsa2, yang berhubungan dengan Deklarasi Balfour, partition resolution PBB tahun 1947; diterimanya Israel di PBB tahun 1949; pengakuan atas negara Israel oleh sebagian besar dunia, dan yang terpenting dari semuanya, masyarakat yang diciptakan oleh orang2 Israel selama berpuluh-puluh tahun berkembang suatu negara yang dinamis.

    Pertikaian bangsa Arab (Palestina) dengan Israel saat ini sebenarnya bukan karena masalah wilayah… tetapi sekelompok garis keras Arab yang tidak mengigini adanya kemerdekaan dari rakyat Palestina itu sendiri. Rakyat Palestina perlu didukung oleh dunia dalam kemerdekaannya,… tetapi bagaimana harus menyelesaikannya?… kenapa bangsa Jordania dan Mesir bisa melakukan perdamaian dengan bangsa Israel… sementara untuk mendapatkan kemerdekaan saja Palestina koq begitu sulit??…

Rabu, 12 November 2008

pemimpin adil pendek umur

MENGAPA kita sulit sekali menemukan pemimpin yang jujur dan adil? Padahal pemimpin semacam itu, mendapat jaminan istimewa dari Allah SWT. Sebuah hadis sahih riwayat Imam Bukhari menyebutkan, tujuh jenis manusia akan mendapat naungan keteduhan dari Allah SWT pada saat menempuh alam Mahsyar kelak, yang panasnya tak terperikan. Yang pertama kali mendapat kehormatan tertinggi itu, adalah al-amirul ‘adil, pemimpin yang adil. Baru enam jenis yang lainnya.
Mungkin karena menegakkan keadilan (disertai kejujuran) bagi seorang pemimpin bukan perkara mudah. Banyak kendala yang harus diatasi. Sehingga sebelum keadilan terwujud, daya upaya dan tenaga sudah terlebih dulu habis terkuras. Bahkan, banyak pemimpin yang adil, jujur dan bijaksana, malah berumur pendek. Dikudeta atau dibunuh oleh lawan-lawannya yang tak menginginkan negara atau bangsa dibawa ke arah kejujujuran dan keadilan.
Bahkan bagi seorang Nicolo Machiaveli (abad 13) lebih mudah mempertahankan kekuasaan yang korup dan tiran daripada yang adil dan jujur. Maka dalam bukunya I’l Principe — yang menjadi “kitab suci” para pemerintah otoriter dan diktatorian sejak dulu hingga sekarang — Machiavelli terang-terangan menganjurkan, agar para penguasa tidak adil dan tidak jujur. Justru harus keras dan kejam, licik dan culas, jika ingin melanggengkan kekuasaan.
Salah seorang pemimpin yang jujur dan adil namun harus mengalami pembunuhan tragis ketika memangku jabatan, adalah Umar bin Khattab (581-644). Ia kepala negara (khalifah). Dalam menjalankan pemerintahan yang adil, jujur dan bijaksana, ia menulis “Risalatul Qada” atau “Dustur Umar”. Berisi petunjuk bagi pejabat-pejabat bawahannya dalam menerapkan keadilan dan kejujuran dalam pemerintahan. Umar membagi tipe pemimpin dalam empat jenis.
Pertama, yang berwibawa. Tegas terhadap penyeleweng, koruptor dan penjahat negara, tanpa pandang bulu. Sekalipun dirinya sendiri atau keluarganya, tetap akan ditindak menurut hukum yang berlaku. Pemimpin semacam ini dikategorikan mujahid fi sabilillahi. Negara yang dipimpinnya, rakyat yang diayominya, akan mengalami keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan lahir batin, di bawah naungan ampunan Allah SWT (Baldatun thayyibatun wa Rabbun Gafur).
Kedua, pemimpin yang tegas terhadap dirinya sendiri saja. Tapi ia tak berani terhadap bawahannya. Lemah dan tidak berwibawa di mata rakyat. Ia selalu dalam intaian bahaya, jika tidak mendapat pertolongan Allah SWT.
Ketiga, pemimpin egois. Mementingkan diri sendiri. Menempatkan bawahan dalam posisi ketakutan, sehingga terpecah-belah dalam kotak-kotak “dekat” dan “jauh”, “kering” dan “basah”. Menempatkan rakyat sebagai sumber pemerasan politik dan ekonomi. Pemimpin model begini akan mudah menjadi incaran kudeta, tidak mau ada yang membela. Bahkan dikutuk dan dihujat segenap lapisan. Nabi Muhammad saw. menggambarkannya sebagai “pemimpin terjahat yang merusak segala tatanan kehidupan” (Syarrur ri’ail huthamah).
Keempat, pemimpin yang berkomplot bersama rezimnya, memperkosa keadilan, merampas hak rakyat. Berbagai undang-undang dan peraturan dikeluarkan, agar perilaku komplotan rezim tersebut seolah-olah konstitusional dan demokratis. Padahal di balik itu tersembunyi teror, penghancuran dan persekongkolan untuk memenuhi kepentingan pemimpin, rezim dan golongan pendukungnya. Pemimpin seperti ini memang akan menikmati hasil gilang-gemilang, mengeruk keuntungan, mengokohkan kekuasaan. Namun hukuman Allah SWT akan menimpa tiba-tiba (baghtatan). Sehingga kesenangan yang mereka jalani, lenyap mendadak (Q.S. Al-An’am:44).
Resep Khalifah Umar di atas, bukan sekadar omong kosong. Sebagai Amirul Mu’minin (pemimpin orang-orang beriman) Umar sudah menjalankan praktik menegakkan keadilan dan kejujuran secara nyata. Selama sepuluh tahun menjadi khalifah (634-644), Umar telah mampu menegakkan keadilan dan kejujuran. Ia tak segan-segan menghukum anaknya sendiri yang melanggar aturan, menyingkirkan anak dan istrinya dari hal-hal beraroma KKN, turun tangan langsung menyantuni fakir miskin dan sebagainya. Titen tulaten memperhatikan kehidupan rakyatnya.
Ternyata keadilan dan kejujuran Umar bin Khattab dalam menjalankan kepemimpinan dan pemerintahan, tidak menghilangkan kebencian di kalangan orang-orang yang merasa dirugikan oleh keadilan dan kejujuran itu. Orang-orang yang tak dapat leluasa mempraktikkan KKN, mengacaukan hukum dan mementingkan diri sendiri atau golongan. Maka, pada suatu saat menjelang salat subuh, seorang bernama Abu Lu’lu’ah, menghunjamkan sebilah belati ke perut Umar bin Khattab. Sahabat utama Nabi Muhammad yang termasuk golongan Assabiqunal Awwalun (generasi pememeluk Islam paling pertama), wafat di jalan Allah. Kedudukannya digantikan oleh Utsman bin Affan.
Hampir seabad kemudian, muncul Umar yang lain. Umar bin Abdul Aziz, yang mampu melanjutkan keadilan dan kejujuran Umar bin Khattab ketika dipercaya memimpin bangsa dan negara. Umar bin Abdul Aziz (682-720) menjadi khalifah Dinasti Umayyah ke-8 (715-717). Berkat keadilan, kejujuran dan kebijaksanaannya, pemerintahan Umayyah yang semula penuh KKN, lalim dan zalim, berubah drastis.
Ia mulai melakukan pembersihan di lingkungan keluarganya sendiri, sebelum membersihkan lingkungan orang-orang kepercayaan dan institusi luar lainnya. Dalam pidato pelantikannnya, ia menyatakan, “Manusia tidak akan bersengketa mengenai Allah SWT Zat yang disembahnya, tentang Kitab-Nya dan Rasul-Nya. Tapi mereka akan bersengketa tentang harta, emas, perak, dinar dan dirham. Demi Allah, aku tidak akan memberi seseorang dengan cara yang batil dan tidak pula akan menghalangi seseorang akan hak yang harus diterimanya. Aku hanya akan meletakkan sesuatu pada tempatnya sebagaimana diperintahkan agamaku. Yaitu adil.”
“Sebelum aku, telah muncul para pemimpin lain. Mereka memiliki aturan macam-macam yang kalian anggap adil atau anggap zalim. Maka bagiku sekarang hanya ada satu pilihan, taatlah kepada pemerintahanku selama aku menegakkan keadilan dan kejujuran. Camkanlah, tidak ada ketaatan kepada makhluk yang bermaksiat kepada Al-Khalik. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah, dan melawan hukum-hukumnya, tak ada keharusan bagi kalian untuk taat kepadaku.”
Kepada istri dan anak-anaknya, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan hidup sederhana, baik dalam penampilan, berpakaian, makan, minum dan berbicara.
Menyaksikan perubahan sikap hidup Umar yang begitu ketat, banyak di antara koleganya menyesal, mengapa mereka dulu memilih Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah. Tindakan yang paling menggelisahkan Bani Umayyah, yaitu keluarga besar Umar bin Abdul Aziz, adalah upaya pengembalian tanah dan harta kekayaan orang-orang yang pernah merasa dirampas atau dirugikan haknya oleh Khalifah Bani Umayyah terdahulu. Saudara-saudara sepupu, semenda dan sanak kadang Umar bin Abdul Aziz yang terbukti pernah berbuat zalim ketika mereka berkuasa, dijatuhi hukuman, baik hukuman badan (pidana) atau membayar ganti rugi kepada orang yang dizaliminya. Yang masih berkuasa, diturunkan dari kedudukannya setelah mempertanggungjawabkan segala perbuatannya yang menzalimi rakyat.
Ia mengeluarkan surat edaran, melarang gubernur atau pejabat birokrasi ikut terlibat dalam bisnis. Menurut Umar, jika itu terjadi akan muncul monopoli, baik langsung oleh gubernur dan aparatnya, maupun oleh konco-konco-nya. Untuk mengganti dampak kerugian dari larangan itu, Umar menaikkan gaji para gubernur dan para pejabat wilayah hingga tiga ratus dinar. Sangat tinggi berdasarkan ukuran zaman itu. Ketika beberapa orang bertanya, mengapa gubernur dan para pejabat gajinya besar-besar? Umar menjawab, agar mereka tidak korupsi, tidak khianat. Agar mereka jujur menjalankan tugasnya.
Ia juga mengeluarkan surat edaran yang melarang karib kerabat dan sanak keluarga Umayyah terlibat kegiatan bisnis dalam bentuk dan skala apa pun. Tentu saja sanak keluarga Umar bin Abdul Aziz protes keras. Menuduh Umar melanggar HAM, degil, tengil, tak berperikemanusiaan. Orang lain yang berkuasa membuat sanak keluarga dan karib kerabat ikut kecipratan rezeki, ini malah memutus rezeki. Tapi Umar tetap teguh pada pendiriannya. Ia menyatakan lebih takut oleh ancaman siksa Allah SWT yang melarang pemimpin mengomersialkan jabatan atau menjalankan KKN, daripada oleh caci maki kaum keluarga sendiri.
Berkat keadilan Umar bin Abdul Aziz, suasana kehidupan penduduk dan negara saat itu, benar-benar aman dan nyaman. Jauh dari huru-hara. Jauh dari kekacauan. Sesama warga negara hidup damai berdampingan, tiis ceuli herang mata. Bahkan dilukiskan, serigala dan kambing pun hidup berdampingan. Serigala merasa puas mendapat makanan tanpa harus menerkam kambing di padang gembalaan. Kambing merasa tenang merumput tanpa khawatir diganggu serigala. Keadilan Umar bin Abdul Aziz dalam menjalankan pemerintahan, benar-benar meresap dan membawa berkah bagi segenap lapisan.
Tapi begitulah perjalanan nasib. Umar bin Khattab yang terkenal adil bijaksana, mengundang kebencian di kalangan orang-orang yang tak menyukai keadilan dan kebijaksanaan. Beliau dibunuh ketika akan menunaikan salat subuh. Umar bin Abdul Aziz pun demikian. Sekelompok pengkhianat yang tak menyukai tindakan Umar memberantas KKN dan menegakkan keadilan dalam pemerintahan, membubuhkan racun ke dalam makanannya. Hampir tiga tahun Umar bin Abdul Aziz menderita sakit parah (717), sebelum dipanggil menghadap Ilahi Rabbi (720).
Mungkin karena contoh dua pemimpin adil, jujur dan bijaksana yang mengalami akhir hidup dengan tragis tersebut, pada masa-masa selanjutnya tak ada lagi pemimpin yang siap adil, jujur dan bijaksana? Takut ditikam dan diracun? Sehingga memilih menjadi pemimpin yang “pura-pura” adil, jujur dan bijaksana saja, agar aman dan langgeng berkuasa. Jika pun kekuasaannya harus berakhir, paling-paling dikudeta damai atau “lengser keprabon” tanpa beban apa-apa. Termasuk tidak mempertanggungjawabkan perbuatannya selama memerintah dengan korup, tiran dan penuh pelanggaran HAM. Wallahu a’lam***

pemimpin adil rakyat sejahtera

JAKARTA-- ''Kemiskinan yang diderita rakyat Indonesia akibat ketamakan sebagian orang yang berkuasa.'' Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nur Wahid, mengemukakan, potret politik di Indonesia menggambarkan dengan jelas bagaimana penjahat-penjahat besar menjadi pejabat. Sebaliknya, sebagian pejabat-pejabat juga menjadi penjahat besar. Indonesia pun kian terpuruk dan untuk memulihkan keadaan membutuhkan pemimpin yang adil. ''Kehancuran total dan dahsyat yang menimpa negeri ini bukan semata karena penduduknya kufur nikmat, juga lantaran ada 'penjahat-penjahat besar' yang menggunakan kekuasannya untuk memuaskan nafsu jahat duniawinya. Mereka menduduki tahta kekuasaan dengan lumuran dosa,'' tutur Hidayat Nur Wahid dalam khutbah Idul Fitri berjudul Pemimpin Adil, Indonesia (kembali) Sejahtera, di pelataran parkir Apartemen Taman Rasuna, Kuningan, Jakarta Selatan. Khutbah Idul Fitri Hidayat Nur Wahid disampaikan di hadapan sekitar 3.000 jamaah shalat Id. Nampak hadir di barisan terdepan antara lain pengusaha Aburizal 'Ical' Bakrie sebagai pembina kegiatan Ramadhan dan Idul Fitri 1424 H/2003 di Apartemen Rasuna. Allah SWT, ungkap Nur Wahid, menyebut manusia-manusia perusak kehidupan itu sebagai 'penjahat terbesar' yang pandai menipu manusia demi keserakahan yang egoistik. Mereka adalah orang-orang kerdil yang menggunakan kekuasaan untuk menghimpun, mengorupsi, dan menimbun harta benda duniawi, tanpa peduli akibat dari perbuatan jahatnya. Yang mereka korupsi, lanjut Nur Wahid, termasuk sebagian dari timbunan utang luar negeri Indonesia yang harus dibayar oleh rakyat. ''Kemiskinan yang diderita ratusan juta rakyat Indonesia adalah akibat ketamakan sebagian orang yang berkuasa,'' tegasnya lagi. Pandangan Islam, menurut Nur Wahid, sangat jelas. Untuk menghidupkan kembali kehidupan suatu negeri yang porak-poranda, mensyaratkan munculnya pemimpin dan kepemimpinan yang baik. Ibarat Allah memunculkan Thalut dan Daud untuk menggantikan Jalut. Atau, seperti Allah memunculkan Yusuf untuk menyelamatkan negeri Mesir yang nyaris bangkrut. ''Pemimpin dan kepemimpinan yang baik hanya tampil dari orang-orang yang bermoral kuat dan yang senantiasa melakukan kebaikan dalam hidupnya. Dalam bahasa Islam, yaitu orang-orang yang 'beriman dan beramal saleh'. Dari sinilah akan mengalir energi besar sebuah bangsa untuk bangkit dan membangun kembali kehidupannya atas bimbingan Allah SWT,'' jelas Nur Wahid. Pemimpin yang diridoi Allah, tegas Nur Wahid, harus mengamalkan tiga langkah besar untuk melakukan perbaikan kehidupan secara total. Pertama, mengokohkan kembali nilai dan ajaran agama sebagai orientasi dan pedoman kehidupan semua warga masyarakat. Langkah kedua, melakukan perubahan total dan radikal terhadap berbagai aspek mendasar kehidupan. Yakni, meliputi kekuasaan yang amanah, mendayagunakan semua sumber daya yang diberikan Allah tanpa dirasuki motif yang merusak (tamak), mensyukuri nikmat, serta bersikap adil dalam menjalankan kehidupan ekonomi, politik, hukum, sosial, dan budaya. Langkah ketiga, memelihara potensi kebaikan masyarakat. Yaitu, sikap hidup seluruh penduduk dan pemimpin negeri yang selalu menegakkan amar makruf nahyi munkar. ''Salah satu pintu kehancuran kehidupan sebuah negeri adalah ketika para pemimpin dan penduduknya melakukan penghancuran secara sistematis dan masif terhadap potensi yang dimiliki dan dibangunnya,'' tutur Nur Wahid. Sementara itu Prof Dr H Achmad Sukardja SH MA dalam khutbahnya di Masjid At-Tin mengungkapkan hendaknya umat Islam meniru pesan Nabi dalam bertingkah laku. Terutama dalam memasuki dan menempuh kegiatan hidup pada tahun 1425 H. ''Yang lalu biarlah sebagai pelajaran,'' ujarnya. Pesan Nabi yang diriwayatkan Ibnu Hibban dari Abu Dzar Al Ghifari, ada empat kesempatan yang harus dilakukan setiap orang dalam bulan Ramadhan ataupun di luar. Yakni sempat beribadah, sempat introspeksi (mawas diri), sempat berfikir, dan sempat bekerja. (zam/lhk/republika.or.id, 28 Nop 2003/www.pks-jaksel.or.id)

amrozi cs di tembak atau diancung

Ada keinginan dari pihak Amrozi cs. untuk dieksekusi pancung karena keyakinan agamanya supaya nanti jadi martir.Permintaan semacam ini haruskan oleh pemerintah ditanggapi? Bukankah kita sudah punya hukum yang berlaku diseluruh nusantara dan harus diberlakukan bagi semua warga Indonesia.Kelihatannya sepele tapi sangat prisipiel.Kalau permintaan Amrozi cs. diluluskan apa konsekwensi hukum di Indoensia. Yang ngerti hukum bisa kasih masukan.Memperingati HUT RI ke 63, apa kita masih ragu dengan apa yang kita telah perjoangkan? apa kita masih meragukan Pacasila, apa kita msih mempertimbangan bentuk negara lain selain nkri yang berKetuhanan Yang Maha Esa, bukan negara agama tertentu. Bedanya seperti langit dan bumi.