THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

About Me

Foto saya
aq pngn punya blog yg menjelaskan pada semua orang , bahwa d dunia sudah menganut aliran zionisme . ..

shep

shep
private

Selasa, 17 Februari 2009

antara judaisme dan raisme

zionisme

Dunia tanpa zionis, damai.

Zionisme menampilkan dirinya sebagai sebuah gerakan politik yang memusatkan segala maksud dan upayanya untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina. Gerakan ini bermula pada akhir abad ke 19 dan berhasil mencapai tujuannya pada tahun 1948 ketika negara Israel diciptakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (atas desakan kuat Amerika Serikat dan tanpa adanya kesepakatan dengan negara-negara Timur Tengah). Secara perlahan, Israel mulai memperluas wilayah kekuasaannya dengan menganeksasi Tepi Barat pada perang tahun 1967 dan 1973.

Dalam perkembangannya, wajah Zionisme lebih tampak sebagai gerakan yang terus berupaya menguasai seluruh wilayah Palestina dan wilayah Timur Tengah lainnya dengan melakukan kekerasan dan ancaman kekerasan (melalui persenjataan yang diproduksi dan dibeli dengan milyaran dolar uang para pembayar pajak AS) serta memaksimalkan pengaruhnya dalam urusan-urusan Internasional dan sejarah dunia, terutama melalui control atas pemerintahan AS (utamanya dengan melakukan pemerasan terhadap para politisi korup). Semua itu dilakukan dengan risiko besar runtuhnya kestabilan sosial, bukan hanya bangsa Palestina tetapi juga seluruh masyarakat dunia.

Para propagandis Zionis mengklaim bahwa Yahudi memiliki hak atas semua tanah antara Sungai Nil hingga Eufrat karena, menurut mereka, tanah-tanah tersebut dianugerahkan oleh “YHWH” (Tuhan) kepada mereka, sebagaimana dinyatakan dalam perjanjian lama (Kejadian 15:18). Selain itu, Zionis juga mengklaim tanah Palestina karena wilayah ini pernah dikuasai dua negara kecil Yahudi, Judah dan Samaria, sebelum dihancurkan oleh Romawi pada abad pertama.

Klaim-klaim diatas bagi sebagian besar masyarakat dunia terdengar absurd. Jika klaim Zionis atas tanah Palestina, yang didasarkan atas penguasaan bangsa Yahudi terhadap wilayah itu 2000 tahun yang lalu, diterima, maka klaim-klaim suku Indian di Amerika Utara atas bekas tanah air mereka (seluruh wilayah AS) dan klaim Aborigin atas seluruh wilayah Australia juga harus dinyatakan sah, dan tanah-tanah itu mesti dikembalikan. Belum lagi jika kita menyebut keturunan-keturunan penduduk dari negara-negara kecil yang tak terhitung banyaknya dan yang timbul-tenggelam selama ribuan tahun perjalanan sejarah umat manusia, maka Zionis tidaklah memiliki hak yang lebih daripada siapapun.

Sementara itu, Zionis belumlah puas degan hanya memiliki negara diatas tanah Palestina. Mereka juga ingin agar negara ini hanya untuk bangsa Yahudi. Konsekuensinya, hasrat besar mereka adalah berupaya semaksimal mungkin untuk mengusir penduduk asli tanah itu dan menggantikannya dengan para diaspora Yahudi dari berbagai belahan dunia (maka tidak mengherankan jika sebagian besar anggota Israel Defense Forces [IDF-angkatan bersenjata Israel] bukan kelahiran Israel, bahkan Amir Peretz, menteri pertahanan Israel, lahir di Maroko).

Dalam hal ini, Tom Segev dalam bukunya, One Palestina, Complete: Jews and Arabs under the British Mandate, menulis sebagai berikut:

Gagasan relokasi telah berjalin-kelindan dengan gerakan Zionis sejak sangat awal, pertama kali muncul dalam catatan harian Theodore Herzl. Dalam praktiknya, Zionis mulai melaksanakan sebuah relokasi-kecil ketika mereka mulai menguasai tanah tersebut dan mengevakuasi para penduduk arab… “Melenyapkan” orang-orang arab sungguh tertanam kuat dalam mimpi Zionis, dan juga dipandang sebagai sebuah syarat yang meniscayakan eksistensi mereka… Dengan sedikit pengecualian, nyaris tak seorang Zionis pun yang meragukan pentingnya relokasi yang dipaksakan tersebut atau bahkan landasan moralnya.

Sebagai bangsa arab, rakyat Palestina adalah juga Semit. Dengan penistaan dan diskriminasi yang begitu telanjang terhadap bangsa Palestina, Israel justru sedang menunjukkan bahwa merekalah anti-semit yang sesungguhnya. Maka sejatinya, tuduhan anti-semitisme yang kerap mereka lontarkan (dan juga tuduhan sekutu Amerika dan Eropa mereka) kepada siapapun yang kritis terhadap Israel tidak lebih daripada kemunafikan yang nyata.

Zionisme bukan Yudaisme
Zionisme tidak semestinya dipersamakan dengan Yudaisme. Perilaku hina yang diperlihatkan pemerintah Israel terhadap rakyat Palestina memang didukung oleh sebagian besar Yahudi Israel tetapi jelas bukan semua Yahudi. Terdapat beberapa komunitas Yahudi yang sepenuhnya menentang Zionisme dan kebijakan Israel di wilayah-wilayah pendudukan Tepi Barat. Diantaranya adalah komunitas-komunitas seperti Not In My Name, Jews Against Zionism, The Great Gulf Between Zionism dan Judaism, dan komunitas Yahudi ortodoks Naturei Karta. Gila Atzmon, seorang aktivis Not In My Name dalam artikelnya Not In My Name: An Analysis of Jewish Righteousness menulis sebagai berikut:

Zionisme adalah…rasis, nasionalis, dan lebih terinspirasi secara biblical (ketimbang secara spiritual). Sebagai sebuah gerakan fundamentalis, secara kategori Zionisme tidak berbeda dengan Nazisme. Hanya apabila mengenali Zionisme dalam konteks Nasionalis dan rasisnyalah, kita akan mampu memahami betapa mengakar kekerasan di dalamnya.

Lalu mengapakah Zionisme dan Zionis tidak lantas diterima seluruh komunitas Yahudi? Berikut ini adalah beberapa alasan, sebagaimana yang ditulis oleh Rabbi E. Weissfish, dari kelompok Yahudi Ortodoks, Naturei Karta.

1. Terminologi Yahudi dan Yudaisme masing-masing merujuk kepada sebuah entitas keagamaan, bukan entitas rasial, sedangkan ideologi Zionis tegak atas dasar:
a. Sebuah upaya untuk mengubah entitas keagamaan Yahudi menjadi sebuah entitas rasial yang diikat hanya oleh kesamaan karakteristik kebangsaan, seperti sejarah bahasa yang sama, tanpa mempertimbangkan keyakinan kepada Sang Pencipta dan memperhatikan perintah-perintahNya.
b. Yudaisme bermakna sistem keyakinan, yang kami percayai telah diberikan kepada nenek-moyang kami oleh Sang Pencipta melalui Musa as dan nabi-nabi yang lain. Namun, makna tersebut diubah oleh Zionisme dari sebuah wahyu Ilahi menjadi sekedar seperangkat tradisi kelompok ras tertentu. Maka, menjadi seorang Yahudi yang taat dan setia kepada negara, apakah itu Amerika Serikat, Iran, atau negara-negara lainnya sama sekali bukanlah suatu kontradiksi.

2. Memperhatikan hal-hal diatas, maka ideologi Zionis mesti dilihat sebagai harapan sebagian orang Yahudi dalam terminology rasial untuk memiliki negara. Komunitas Yahudi Ortodoks, bagaimanapun, tidak percayai bahwa bangsa Yahudi terusir dari tanah mereka, 2000 tahun yang lalu, karena kekalahan militer tetapi akibat dari dosa-dosa yang mereka lakukan ketika menghuni tanah tersebut. Pada kenyataannya, Yahudi diperintahkan Sang Pencipta, melalui para nabinya, untuk tidak menyelesaikan keterusiran mereka melalui relokasi dalam bentuk fisik (lihat Talmud traktat Kesubos 111a). Namun, bangsa Yahudi harus tetap menjadi warga negara yang loyal kepada pemerintahan negara-negara tempat mereka tinggal (sepanjang sejarah, bahkan setelah Yahudi terusir dari Tanah Suci, selalu terdapat komunitas Yahudi yang hidup secara damai di Tanah Suci).

Mereka menjadi warga negara yang setia tanpa berupaya mendirikan sebuah negara baru, seperti yang dilakukan Zionis sekarang. Kini, mereka pun menentang pemerintahan Zionis dan menolak untuk menerima bantuan keuangan dari pemerintah atau berpartisipasi dalam pemilu. Rabbi Moshe Hirsch dari Yerusalem sering kali mengunjungi para pemimpin Palestina untuk menyatakan bahwa Yahudi Ortodoks di Tanah Suci hanya ingin hidup di bawah pemerintahan Palestina bukan Zionis.

3. Namun sayangnya, melalui kekuatan uang, propaganda, dan juga media, Zionis terus mencitrakan diri mereka ke dunia sebagai wakil dari masyarakat Yahudi. Dalam propaganda, mereka juga menggunakan sejumlah kelompok yang dinamakan Zionis ‘religius’ untuk membodohi dunia agar percaya bahwa hak mereka atas Tanah Suci dan ketertindasan mereka di hadapan bangsa Palestina memiliki klaim teologis dalam Yudaisme. Pembunuhan dan penindasan yang mereka lakukan terhadap bangsa Palestina, bagaimanapun, telah menodai Yahudi dua kali lipat karena melakukan hal-hal nista itu dengan mengatasnamakan masyarakat Yahudi dan Tuhan. Karena alasan inilah, komunitas Yahudi Ortodoks melihat bahwa kini saatnya untuk menyatakan kepada dunia bahwa mereka, yang setiap kepada Taurat dan Sang Pencipta, menentang Zionis dan kebiadaan yang mereka perbuat. Komunitas Yahudi Ortodoks akan terus berupaya dan berdoa demi keruntuhan ‘negara’ Zionis dan kelahiran dunia yang damai.

sumber: www.icc-jakarta.com

Membedakan Zionisme dari Yahudi

HARUN YAHYA



kirim saran klo salah


Sebagaimana disebutkan sebelumnya, sikap toleransi yang wajib diperlihatkan kaum Muslimin terhadap orang-orang ahli kitab telah terbukti sepanjang sejarah Islam. Selama berabad-abad, umat Islam memperlakukan kaum Yahudi dengan sangat bersahabat dan mereka menyambut persahabatan ini dengan kesetiaan. Namun, hal yang telah merusak keadaan ini adalah Zionisme.

Zionisme muncul pada abad ke-19. Dua hal yang menjadi ciri menonjol Eropa abad ke-19, yakni rasisme dan kolonialisme, telah pula berpengaruh pada Zionisme. Ciri utama lain dari Zionisme adalah bahwa Zionisme adalah ideologi yang jauh dari agama. Orang-orang Yahudi, yang merupakan para mentor ideologis utama dari Zionisme, memiliki keimanan yang lemah terhadap agama mereka. Bahkan, kebanyakan dari mereka adalah ateis. Mereka menganggap agama Yahudi bukan sebagai sebuah agama, tapi sebagai nama suatu ras. Mereka meyakini bahwa masyarakat Yahudi mewakili suatu ras tersendiri dan terpisah dari bangsa-bangsa Eropa. Dan, karenanya, mustahil bagi orang Yahudi untuk hidup bersama mereka, sehingga bangsa Yahudi memerlukan tanah air tersendiri bagi mereka.

Hingga saat kemunculan Zionisme di Timur Tengah, ideologi ini tidak mendatangkan apapun selain pertikaian dan penderitaan. Dalam masa di antara dua perang dunia, berbagai kelompok teroris Zionis melakukan serangan berdarah terhadap masyarakat Arab dan Inggris. Di tahun 1948, menyusul didirikannya negara Israel, strategi perluasan wilayah Zionisme telah menyeret keseluruhan Timur Tengah ke dalam kekacauan.

Titik awal dari Zionisme yang melakukan segala kebiadaban ini bukanlah agama Yahudi, tetapi Darwinisme Sosial, sebuah ideologi rasis dan kolonialis yang merupakan warisan dari abad ke-19. Darwinisme Sosial meyakini adanya perjuangan atau peperangan yang terus-menerus di antara masyarakat manusia. Dengan mengindoktrinasikan ke dalam otak mereka pemikiran “yang kuat akan menang dan yang lemah pasti terkalahkan”, ideologi ini telah menyeret bangsa Jerman kepada Nazisme, sebagaimana orang-orang Yahudi kepada Zionisme.

Kini, banyak kaum Yahudi agamis, yang menentang Zionisme, mengemukakan kenyataan ini. Sebagian dari para Yahudi taat ini bahkan tidak mengakui Israel sebagai negara yang sah dan, oleh karenanya, menolak untuk mengakuinya. Negarawan Israel Amnon Rubinstein mengatakan: “Zionisme adalah sebuah pemberontakan melawan tanah air (Yahudi) mereka dan sinagog para Pendeta Yahudi”. (Amnon Rubinstein, The Zionist Dream Revisited, hlm. 19)

Pendeta Yahudi, Forsythe, mengungkapkan bahwa sejak abad ke-19, umat Yahudi telah semakin jauh dari agama dan perasaan takut kepada Tuhan. Kenyataan inilah yang pada akhirnya menimpakan hukuman dalam bentuk tindakan kejam Hitler (kepada mereka), dan kejadian ini merupakan seruan kepada kaum Yahudi agar lebih mentaati agama mereka. Pendeta Forsythe menyatakan bahwa kekejaman dan kerusakan di bumi adalah perbuatan yang dilakukan oleh Amalek (Amalek dalam bahasa Taurat berarti orang-orang yang ingkar kepada Tuhan), dan menambahkan: “Pemeluk Yahudi wajib mengingkari inti dari Amalek, yakni pembangkangan, meninggalkan Taurat dan keingkaran pada Tuhan, kebejatan, amoral, kebiadaban, ketiadaan tata krama atau etika, ketiadaan wewenang dan hukum.” (Rabbi Forsythe, A Torah Insight Into The Holocaust, http://www.shemayisrael.com/rabbiforsythe/holocaust.)

Zionisme, yang tindakannya bertentangan dengan ajaran Taurat, pada kenyataannya adalah suatu bentuk fasisme, dan fasisme tumbuh dan berakar pada keingkaran terhadap agama, dan bukan dari agama itu sendiri. Karenanya, yang sebenarnya bertanggung jawab atas pertumpahan darah di Timur Tengah bukanlah agama Yahudi, melainkan Zionisme, sebuah ideologi fasis yang tidak berkaitan sama sekali dengan agama.

Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi pada bentuk-bentuk fasisme yang lain, Zionisme juga berupaya untuk menggunakan agama sebagai alat untuk meraih tujuannya.

Penafsiran Taurat yang Keliru oleh Kaum Zionis

Taurat adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa. Allah mengatakan dalam Alquran: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi),...” (QS. Al-Maa-idah, 5:44). Sebagaimana pula dinyatakan dalam Alquran, isi Taurat di kemudian hari telah dirubah dengan penambahan perkataan manusia. Itulah mengapa di zaman sekarang telah dijumpai “Taurat yang telah dirubah”.

Namun, pengkajian terhadap Taurat mengungkap keberadaan inti ajaran-ajaran Agama yang benar di dalam Kitab yang pernah diturunkan ini. Banyak ajaran-ajaran yang dikemukakan oleh Agama yang benar seperti keimanan kepada Allah, penyerahan diri kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya, takut kepada Allah, mencintai Allah, keadilan, cinta, kasih sayang, menentang kebiadaban dan kedzaliman tertulis dalam Taurat dan bagian-bagian lain dari Kitab Perjanjian Lama.

Selain itu, peperangan yang terjadi sepanjang sejarah dan pembantaian yang terjadi ini dikisahkan dalam Taurat. Jika seseorang berniat untuk mendapatkan dalil – meskipun dengan cara membelokkan fakta-fakta yang ada – untuk membenarkan tindakan keji, pembantaian dan pembunuhan, ia dapat dengan mudah mengambil bagian-bagian ini dalam Taurat sebagai rujukan untuk kepentingan pribadinya. Zionisme menempuh cara ini untuk membenarkan tindakan terorismenya, yang sebenarnya adalah terorisme fasis, dan ia sangat berhasil. Sebagai contoh, Zionisme telah menggunakan bagian-bagian yang berhubungan dengan peperangan dan pembantaian dalam Taurat untuk melegitimasi pembantaian yang dilakukannya terhadap warga Palestina tak berdosa. Ini adalah penafsiran yang tidak benar. Zionisme menggunakan agama sebagai alat untuk membenarkan ideologi fasis dan rasisnya.

Sungguh, banyak orang-orang Yahudi taat yang menentang penggunaan bagian-bagian Taurat ini sebagai dalil yang membenarkan pembantaian yang dilakukan terhadap warga Palestina sebagai tindakan yang benar. The Neturie Karta, sebuah organisasi Yahudi Ortodoks anti Zionis, menyatakan bahwa, nyatanya, “menurut Taurat, umat Yahudi tidak diizinkan untuk menumpahkan darah, mengganggu, menghina atau menjajah bangsa lain”. Mereka menekankan lebih jauh bahwa, “para politikus Zionis dan rekan-rekan mereka tidak berbicara untuk kepentingan masyarakat Yahudi, nama Israel telah dicuri oleh mereka”. (Rabbi E. Schwartz, Advertisement by Neturei Karta in New York Times, 18 Mei 1993)

Dengan menjalankan kebijakan biadab pendudukan atas Palestina di Timur Tengah dengan berkedok “agama Yahudi”, Zionisme sebenarnya malah membahayakan agama Yahudi dan masyarakat Yahudi di seluruh dunia, dan menjadikan warga Israel atau Yahudi diaspora sebagai sasaran orang-orang yang ingin membalas terhadap Zionisme.