THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

About Me

Foto saya
aq pngn punya blog yg menjelaskan pada semua orang , bahwa d dunia sudah menganut aliran zionisme . ..

shep

shep
private

Rabu, 25 Maret 2009

zonisme


Akar Zionisme

Djoko Susilo, Anggota Komisi I DPR RI
Tidak ada perbincangan serius mengenai masalah Timur Tengah tanpa mengaitkannya dengan ideologi Zionisme. David Vital, profesor pada University of Tel Aviv dalam bukunya The Origins of Zionism (1975) menulis bahwa Zionisme modern (sering disebut juga Zionsime politik) pada mulanya merupakan impian seorang wartawan Theodore Herzl setelah menyaksikan pengadilan pengkhianatan Kapten Dreyfuss di mahkamah militer Paris. Zionisme modern lahir setelah Kongres Basle pada 29-31 Agustus 1897, seratus tahun yang lalu.

Sebelum lahirnya gerakan Zionisme modern, ide tentang Zion sudah cukup kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat Yahudi, khususnya kalangan Ashkhenazi (Yahudi Eropa). Di antara gerakan Zionis pra-Kongres Basle yang secara umum disebut sebagai proto-Zionisme, yang terpenting ialah Hovevei-Zion, Hibbat-Zion, dan Poalei-Zion.

Semua gerakan Zionisme tersebut sering juga dikenal sebagai gerakan ''utopia'', dan baru setelah Kongres I di Basle, gerakan Zionisme menemukan jati dirinya sebagai gerakan politik yang mempunyai program jelas.

Semula Theodore Herzl ingin menggelar Kongres di Muenchen, Jerman. Namun dia mendapat tantangan keras dari kalangan pemuka agama Yahudi setempat dan kelompok pro asimilasionis yang khawatir Kongres Zionis dan kegiatan yang terkait dengannya hanya akan meningkatkan rasa kebencian masyarakat Jerman terhadap mereka. Oleh karenanya, Herzl terpaksa memindahkan tempat kongres di kota kecil Basle yang terletak di wilayah Swiss tapi masih berbatasan dengan Jerman. Kongres dibuka pada Ahad pagi tanggal 29 Agustus 1897 dengan mengambil tempat di gedung Kasino milik pemerintah kotapraja Basle.

Sungguh aneh sekalipun agama Yahudi mengharamkan perjudian, pelaksanaan kongres yang memperjuangkan kembalinya mereka ke tanah leluhur itu dilakukan di tempat judi. Ini bisa dimaklumi karena sebenarnya Theodore Herzl penggagas dan aktor utama kebangkitan Zionisme adalah seorang sekuler. Persiapan kongres dilakukan dengan matang dan rapi. Beberapa bulan sebelumnya Herzl sibuk melobi ke berbagai tokoh Yahudi di London, Paris, Polandia, Rusia, dan lain-lain tempat agar bisa mengirimkan wakilnya atau datang sendiri. Meski demikian, hanya sekelompok kecil yang berani ke Basle. Israel Zangwill, adalah sedikit dari intelektual terkemuka yang memberanikan diri hadir di kongres.

Kongres tersebut dihadiri antara 200 sampai 250 wanita dan pria yang datang dari 24 negara. Jumlah yang tampak tidak pasti ini karena beberapa delegasi khususnya yang datang dari Rusia meminta agar namanya tidak dicantumkan secara resmi. Dengan kata lain mereka datang secara ilegal. Beberapa delegasi tidak mau repot dengan mendaftar secara resmi karena mereka mungkin tidak menyadari sedang menghadiri kongres yang sangat bersejarah. Sebab, lima puluh tahun kemudian cita-cita mendirikan negara Israel berhasil diwujudkan dengan mengusir dan merampas tanah dari bangsa Palestina.

Pintarnya Herzl mengorganisasi Kongres I Zionis di Basle ini terlihat dari rapinya administrasi maupun agenda acara yang dibicarakan. Semua peserta yang hadir sebelum memasuki arena kongres sudah mendapatkan materi yang tercetak rapi. Masing-masing delegasi mendapatkan badge yang dirancang oleh Bodenheimer. Badge ini merupakan lingkaran biru dengan garis tepi merah dengan lambang singa dan bintang david sebanyak 12 buah. Di tengah-tengahnya terdapat kata-kata: ''Berdirinya negara Yahudi merupakan satu-satunya jawaban yang masuk akal bagi penyelesaian masalah Yahudi''.

Sebagai wartawan profesional yang bekerja untuk koran Neue Freie Presse, Herzl mengerti benar pentingnya media massa dalam menyebarkan ide-idenya. Jauh sebelum orang menyadari pentingnya PR (public relations), Herzl sudah mengetahui pentingnya memanfaatkan media untuk kepentingannya. Koran Die Welt yang saat itu tirasnya cukup besar mendapat layanan khusus. Sebagai imbalannya, koran ini pun memuat edisi khusus Kongres I Zionis tersebut. Publikasi mengenai kongres juga terdapat pada koran-koran Eropa lainnya, seperti The Times of London, The Daily News, The Daily Mail, The Spectator, dan Pall Mall Gazette di Inggris. Koran Jerman yang memberitakan secara besar-besaran ialah Frankfurter Zeitung, Kolnische Zeitung. Koran-koran besar di sejumlah negara lain juga memuat berita kongres itu, misalnya di Hongaria, Rusia, Polandia, Swiss, Amerika Serikat, dan Prancis. Dengan demikian dari segi propaganda dan perebutan opini publik, Herzl sukses besar.

Kongres yang berlangsung selama tiga hari itu bisa berlangsung mulus karena sejumlah masalah pokok sudah diselesaikan dalam pertemuan pra-kongres yang berlangsung selama dua hari. Dalam pertemuan khusus ini berhasil ditunjuk 7 orang komite pelaksana yang diketuai Max Nordau. Mereka bertanggung jawab atas lancarnya sidang-sidang yang dilaksanakan. Meski demikian Herzl semula sempat ragu bahwa dia akan mampu menggelar kongres dengan baik.

Untuk memberi kesan bahwa kongres bukan dihadiri oleh orang-orang ''gembel'' saja, Herzl meminta semua delegasi yang akan memasuki ruang sidang memakai baju resmi, yakni jas panjang dan dasi putih. Ketika Nordau sebagai ketua pengarah sidang muncul di arena kongres hanya dengan mengenakan jaket biasa, Herzl memaksanya balik ke hotel dan mengganti dengan stelan resmi itu. Nordau berhasil dirayu Herzl agar ganti pakaian dan dia kemudian dipeluk pendiri Zionis itu dengan hangat. Seperti yang diharapkan Herzl, kongres berjalan lancar dan khususnya acara pembukaan berlangsung khidmat.

Konon, para peserta banyak yang mencucurkan air mata. Mereka terharu, untuk pertama kalinya warga Yahudi yang terserak-serak di berbagai negara dan berbeda bahasa bisa berkumpul dengan tujuan yang sama: memperjuangkan berdirinya Israel. Meski masih banyak yang sangsi akan mampu mendirikan negara khusus bagi bangsa Yahudi, tetapi langkah positif sudah mereka laksanakan yakni dengan menyatukan tekad dalam cita-cita yang sama.

Konspirasi zionisme


Jika kita mendikusikan masalah Israel dan Zionisme dengan orang Arab atau mereka yang kurang dalam pemahamannya soal Timur Tengah, akan sangat mudah sekali kita terjebak ke dalam teori konspirasi. Banyak dikesankan bahwa Zionisme merupakan konspirasi kaum kolonial untuk melemahkan dunia Arab atau Islam. Tidak pernah dikaji secara mendalam bahwa gerakan Zionisme sukses karena kerja keras para pendukungnya ditambah dengan lemahnya atau cerai berainya bangsa Arab sendiri.

Hal ini bisa dilihat dari daftar siapa yang hadir dalam Kongres I di Basle tersebut. Dari 200 sampai 250 peserta yang hadir, hanya 162 orang yang berani mendaftarkan kehadirannya secara terbuka. Di antara mereka ini, selain Theodore Herzl maka yang mempunyai reputasi internasional hanyalah Israel Zangwill (intelektual Inggris) dan profesor Herman Schapira, pakar matematika dari Universitas Heidelberg, Jerman. Secara umum para delegasi Kongres I adalah kaum kelas menengah Yahudi, seperempat di antaranya kaum pengusaha, industriawan, dan keuangan. Kelompok terbesar ialah sastrawan, mahasiswa, dan kaum profesional seperti pengacara, wartawan, dokter, dan sebagainya. Juga terdapat 11 orang rabbi, seorang penjaga sinagog, seorang petani, seorang pemahat, dua orang ahli stenografi, dan seorang tukang cetak.

Mayoritas dari hadirin ialah kaum modernis dan liberal dalam pandangan agamanya. Ini untuk membedakan dari kelompok Orthodoks yang saat ini mendominasi kehidupan politik Israel. Bahkan, ada pula Yahudi yang ragu-ragu dalam kepercayaannya kepada Tuhan (agnostic). Bisa dikatakan hampir tidak ada kelompok ekstremis seperti kaum messianik karena mereka percaya bahwa kembalinya bangsa Yahudi dengan cara politik merupakan pengingkaran terhadap hukum Tuhan. Bangsa Yahudi, kata mereka, hanya akan kembali ke tanah suci dengan mukjizat.

Dari asal negara, sebagian besar dari Eropa Timur, terutama Rusia, Rumania, Serbia, Bulgaria, Austria, Polandia, Lithuania, dan Latvia. Beberapa kelompok datang dari Eropa Barat, Prancis, Inggris, Swiss, Jerman, dan Amerika Serikat. Mungkin yang pantas dicatat ialah tidak tampak wakil Yahudi dari negara-negara Arab atau Islam yang dikenal sebagai kaum Sephardim. Dengan demikian, sebenarnya Kongres I Zionis adalah Kongresnya Yahudi Ashkhenazi atau Yahudi Eropa.

Fakta ini menunjukkan bahwa ''masalah Yahudi'' (the Jewish question) adalah masalah Eropa. Bangsa Yahudi di dunia Arab atau Sephardim yang hidup berabad-abad lamanya dengan umat Islam tidak menghadapi masalah yang serius. Persoalan antara Yahudi dan Arab baru muncul justru setelah lahirnya Israel. Edward Said, intelektual Amerika terkemuka kelahiran Yerusalem mencatat bahwa di masa kecilnya sebelum adanya Israel, hubungan masyarakat Islam, Kristen, dan Yahudi di Palestina cukup baik. Memang sekali-kali muncul ketegangan tetapi masih dalam batas-batas yang wajar. Setelah gelombang Zionisme memasuki tanah Palestina dengan Deklarasi Balfour 1921, kerusuhan antara komunitas makin memuncak.

Setelah melalui perdebatan yang cukup seru, Kongres yang berlangsung selama tiga hari ini memutuskan empat pokok program kerja. Hal yang terpenting ialah disepakati bahwa Zionisme merupakan suatu gerakan yang bertujuan mendirikan ''perumahan'' bagi bangsa Yahudi di Palestina melalui jalan hukum. Untuk itu dirumuskan empat tujuan pokok sebagai berikut:

Pertama, memajukan tanah Palestina dengan hasil karya petani, seniman, dan pedagang Yahudi. Kedua, mengorganisasikan dan mempersatukan semua bangsa Yahudi dengan berbagai cara yang tepat sesuai dengan kondisi lokal dan sesuai dengan aturan umum yang berlaku di masing-masing negara. Ketiga, memperkuat rasa kebangsaan dan rasa kesadaran nasional Yahudi. Keempat, mempersiapkan berbagai tindakan dalam upaya mendapatkan izin pemerintah yang diperlukan bagi dicapainya tujuan Zionisme.

Semua program ini menjadi tanggung jawab kongres yang dalam sehari-hari ditangani oleh sebuah badan eksekutif di bawah pimpinan Herzl. Dialah, dengan pengalamannya sebagai wartawan internasional mulai menggarap beberapa politisi dan pejabat pemerintah di Barat untuk memberikan dukungan bagi Zionisme.

Manipulasi sejarah


Tidak ada manipulasi sejarah yang lebih dahsyat dari pada yang dilakukan kaum Zionis terhadap bangsa Palestina. Kongres Zionis I di Basle merupakan titik balik dari sejarah usaha perampasan tanah Palestina dari bangsa Arab. Namun hebatnya, para perampas ini tidak dianggap sebagai ''perampok'' tetapi malahan dipuja sebagai ''pahlawan'' dan bangsa Arab yang melawannya dianggap sebagai ''teroris'' dan penjahat yang perlu dihancurkan.

Salah satu kunci untuk memahami semua ini ialah karena sejak Kongres I kaum Zionis sudah mengerti kunci perjuangan abad XX yakni: diplomasi, lobi, dan penguasaan media massa. Herzl sebagai seorang wartawan yang berpengalaman dengan tangkas memanfaatkan tiga senjata andal dalam perjuangan politik abad modern ini. Sejak Kongres I, dia sangat rajin melobi para pembesar di Eropa, mendekati wartawan, dan melancarkan diplomasi ke berbagai negara. Hasilnya sungguh luar biasa. Zionisme lantas diterima sebagai gerakan politik yang sah bagi usaha merampas tanah Palestina untuk bangsa Yahudi.

Tokoh-tokoh Yahudi banyak terjun ke media massa, terutama koran dan industri film. Hollywood misalnya didirikan oleh Adolf Zuckjor bersaudara dan Samuel-Goldwyn-Meyer (MGM). Dengan dominasi yang luar biasa ini, mereka berhasil mengubah bangsa Palestina yang sebenarnya adalah korban kaum Zionis menjadi pihak ''penjahat''.

Edward Said, dalam bukunya Blaming The Victims secara jitu mengungkapkan bagaimana media massa Amerika menciptakan gambaran negatif bangsa Palestina. Sekitar 25 persen wartawan di Washington dan New York adalah Yahudi, sebaliknya hampir tidak ada koran atau TV Amerika terkemuka yang mempunyai wartawan Arab atau Muslim. Kondisi ini berbeda dengan media Eropa yang meskipun dalam jumlah terbatas masih memiliki wartawan Arab atau muslim. Dengan demikian laporan tentang Palestina di media Eropa secara umum lebih ''fair'' daripada media Amerika.

Edward Said yang terkenal dengan bukunya Orientalism (Verso 1978), menguraikan apa yang dilakukan kaum Zionis terhadap bangsa Palestina merupakan praktik kaum Orientalis yang sangat nyata. Pertama, sejarah ditulis ulang, yakni Palestina sebelum berdirnya Israel ialah: wilayah tanpa bangsa untuk bangsa yang tidak mempunyai tanah air. Kedua, bangsa Palestina yang menjadi korban dikesankan sebagai bangsa biadab yang jadi penjahat. Ketiga, tanah Palestina hanya bisa makmur setelah kaum Zionis beremigrasi ke sana.

Yerusalem dan tanah Palestina tampaknya akan semakin panas. Zionisme yang semula dimaksudkan sebagai pemecahan terhadap masalah Yahudi (Eropa) ternyata malahan menimbulkan masalah yang baru: yakni persoalan Palestina yang sampai sekarang tidak pernah selesai. (RioL)

Penafsiran Taurat yang Keliru oleh Kaum Zionis

Taurat adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa. Allah mengatakan dalam Alquran: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi),...” (QS. Al-Maa-idah, 5:44). Sebagaimana pula dinyatakan dalam Alquran, isi Taurat di kemudian hari telah dirubah dengan penambahan perkataan manusia. Itulah mengapa di zaman sekarang telah dijumpai “Taurat yang telah dirubah”.

Namun, pengkajian terhadap Taurat mengungkap keberadaan inti ajaran-ajaran Agama yang benar di dalam Kitab yang pernah diturunkan ini. Banyak ajaran-ajaran yang dikemukakan oleh Agama yang benar seperti keimanan kepada Allah, penyerahan diri kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya, takut kepada Allah, mencintai Allah, keadilan, cinta, kasih sayang, menentang kebiadaban dan kedzaliman tertulis dalam Taurat dan bagian-bagian lain dari Kitab Perjanjian Lama.

Selain itu, peperangan yang terjadi sepanjang sejarah dan pembantaian yang terjadi ini dikisahkan dalam Taurat. Jika seseorang berniat untuk mendapatkan dalil – meskipun dengan cara membelokkan fakta-fakta yang ada – untuk membenarkan tindakan keji, pembantaian dan pembunuhan, ia dapat dengan mudah mengambil bagian-bagian ini dalam Taurat sebagai rujukan untuk kepentingan pribadinya. Zionisme menempuh cara ini untuk membenarkan tindakan terorismenya, yang sebenarnya adalah terorisme fasis, dan ia sangat berhasil. Sebagai contoh, Zionisme telah menggunakan bagian-bagian yang berhubungan dengan peperangan dan pembantaian dalam Taurat untuk melegitimasi pembantaian yang dilakukannya terhadap warga Palestina tak berdosa. Ini adalah penafsiran yang tidak benar. Zionisme menggunakan agama sebagai alat untuk membenarkan ideologi fasis dan rasisnya.

Sungguh, banyak orang-orang Yahudi taat yang menentang penggunaan bagian-bagian Taurat ini sebagai dalil yang membenarkan pembantaian yang dilakukan terhadap warga Palestina sebagai tindakan yang benar. The Neturie Karta, sebuah organisasi Yahudi Ortodoks anti Zionis, menyatakan bahwa, nyatanya, “menurut Taurat, umat Yahudi tidak diizinkan untuk menumpahkan darah, mengganggu, menghina atau menjajah bangsa lain”. Mereka menekankan lebih jauh bahwa, “para politikus Zionis dan rekan-rekan mereka tidak berbicara untuk kepentingan masyarakat Yahudi, nama Israel telah dicuri oleh mereka”. (Rabbi E. Schwartz, Advertisement by Neturei Karta in New York Times, 18 Mei 1993)

Dengan menjalankan kebijakan biadab pendudukan atas Palestina di Timur Tengah dengan berkedok “agama Yahudi”, Zionisme sebenarnya malah membahayakan agama Yahudi dan masyarakat Yahudi di seluruh dunia, dan menjadikan warga Israel atau Yahudi diaspora sebagai sasaran orang-orang yang ingin membalas terhadap Zionisme.

Membedakan Zionisme dari Yahudi

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, sikap toleransi yang wajib diperlihatkan kaum Muslimin terhadap orang-orang ahli kitab telah terbukti sepanjang sejarah Islam. Selama berabad-abad, umat Islam memperlakukan kaum Yahudi dengan sangat bersahabat dan mereka menyambut persahabatan ini dengan kesetiaan. Namun, hal yang telah merusak keadaan ini adalah Zionisme.

Zionisme muncul pada abad ke-19. Dua hal yang menjadi ciri menonjol Eropa abad ke-19, yakni rasisme dan kolonialisme, telah pula berpengaruh pada Zionisme. Ciri utama lain dari Zionisme adalah bahwa Zionisme adalah ideologi yang jauh dari agama. Orang-orang Yahudi, yang merupakan para mentor ideologis utama dari Zionisme, memiliki keimanan yang lemah terhadap agama mereka. Bahkan, kebanyakan dari mereka adalah ateis. Mereka menganggap agama Yahudi bukan sebagai sebuah agama, tapi sebagai nama suatu ras. Mereka meyakini bahwa masyarakat Yahudi mewakili suatu ras tersendiri dan terpisah dari bangsa-bangsa Eropa. Dan, karenanya, mustahil bagi orang Yahudi untuk hidup bersama mereka, sehingga bangsa Yahudi memerlukan tanah air tersendiri bagi mereka.

Hingga saat kemunculan Zionisme di Timur Tengah, ideologi ini tidak mendatangkan apapun selain pertikaian dan penderitaan. Dalam masa di antara dua perang dunia, berbagai kelompok teroris Zionis melakukan serangan berdarah terhadap masyarakat Arab dan Inggris. Di tahun 1948, menyusul didirikannya negara Israel, strategi perluasan wilayah Zionisme telah menyeret keseluruhan Timur Tengah ke dalam kekacauan.

Titik awal dari Zionisme yang melakukan segala kebiadaban ini bukanlah agama Yahudi, tetapi Darwinisme Sosial, sebuah ideologi rasis dan kolonialis yang merupakan warisan dari abad ke-19. Darwinisme Sosial meyakini adanya perjuangan atau peperangan yang terus-menerus di antara masyarakat manusia. Dengan mengindoktrinasikan ke dalam otak mereka pemikiran “yang kuat akan menang dan yang lemah pasti terkalahkan”, ideologi ini telah menyeret bangsa Jerman kepada Nazisme, sebagaimana orang-orang Yahudi kepada Zionisme.

Kini, banyak kaum Yahudi agamis, yang menentang Zionisme, mengemukakan kenyataan ini. Sebagian dari para Yahudi taat ini bahkan tidak mengakui Israel sebagai negara yang sah dan, oleh karenanya, menolak untuk mengakuinya. Negarawan Israel Amnon Rubinstein mengatakan: “Zionisme adalah sebuah pemberontakan melawan tanah air (Yahudi) mereka dan sinagog para Pendeta Yahudi”. (Amnon Rubinstein, The Zionist Dream Revisited, hlm. 19)

Pendeta Yahudi, Forsythe, mengungkapkan bahwa sejak abad ke-19, umat Yahudi telah semakin jauh dari agama dan perasaan takut kepada Tuhan. Kenyataan inilah yang pada akhirnya menimpakan hukuman dalam bentuk tindakan kejam Hitler (kepada mereka), dan kejadian ini merupakan seruan kepada kaum Yahudi agar lebih mentaati agama mereka. Pendeta Forsythe menyatakan bahwa kekejaman dan kerusakan di bumi adalah perbuatan yang dilakukan oleh Amalek (Amalek dalam bahasa Taurat berarti orang-orang yang ingkar kepada Tuhan), dan menambahkan: “Pemeluk Yahudi wajib mengingkari inti dari Amalek, yakni pembangkangan, meninggalkan Taurat dan keingkaran pada Tuhan, kebejatan, amoral, kebiadaban, ketiadaan tata krama atau etika, ketiadaan wewenang dan hukum.” (Rabbi Forsythe, A Torah Insight Into The Holocaust, http://www.shemayisrael.com/rabbiforsythe/holocaust.)

Zionisme, yang tindakannya bertentangan dengan ajaran Taurat, pada kenyataannya adalah suatu bentuk fasisme, dan fasisme tumbuh dan berakar pada keingkaran terhadap agama, dan bukan dari agama itu sendiri. Karenanya, yang sebenarnya bertanggung jawab atas pertumpahan darah di Timur Tengah bukanlah agama Yahudi, melainkan Zionisme, sebuah ideologi fasis yang tidak berkaitan sama sekali dengan agama.

Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi pada bentuk-bentuk fasisme yang lain, Zionisme juga berupaya untuk menggunakan agama sebagai alat untuk meraih tujuannya.